JAKARTA, KOMPAS.com – Upaya pemerintah Indonesia meminta jatah total 30 persen saham PT Freeport Indonesia hingga 2021 masih bisa mengundang perdebatan hebat. Intinya adalah apakah penetapan basis nilai akuisisi yang diproyeksikan mencapai 1,7 miliar dollar AS, sepadan dengan sisa 20,64 persen saham dari anak usaha tambang emas terbesar di dunia tersebut.
Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Budi Santoso berpendapat, kesediaan pemerintah menerima divestasi Freeport Indonesia dengan total 30 persen saham masih cacat logika. Seharusnya pemerintah tidak perlu repot mengeluarkan uang 1,7 miliar dollar AS untuk akuisisi 20,64 persen saham.
Bila pemerintah sedikit bersabar hingga 2021, justru bisa memperoleh kepemilikan hingga 100 persen. “Pada 2021, kontrak Freeport habis. Mereka 0 persen, dan Indonesia punya 100 persen. Barulah mulai berhitung aset yang ditinggalkan,” kata dia kepada KONTAN (10/6/2014).
Dia menambahkan, selama kontrak karya (KK) Freeport mulai 1967 dan diperbarui 1991, tidak banyak kontribusi bagi ekonomi Indonesia.
Karena itu, pemerintah harus tegas menghentikan proses renegosiasi dan selanjutnya menghentikan kontrak tersebut pada 2021. Ada tiga alasan mengapa pemerintah perlu menghentikan kontrak.
Pertama, Freeport telah menghina perundangan yang ada karena tidak mau membayar royalti 3,75 persen yang telah diberlakukan sejak 2003.
Kedua, perusahaan ini gagal memenuhi kewajiban mengolah dan memurnikan mineral, dan hanya mampu memurnikan mineral sebanyak 40 persen dari total produksi. “Pembangunan smelter kewajiban mereka, kelalaian terlambat membangun, kok dikaitkan dengan perpanjangan kontrak,” ujar dia.
Ketiga, soal investasi tambang bawah tanah senilai 15 miliar dollar AS hanyalah strategi Freeport agar tetap bertahan di Indonesia. Padahal investasi yang dikeluarkan tidak secara langsung, tapi bertahap dengan jumlah sekitar 1 miliar dollar AS per tahun.
Bahkan, investasi tersebut diambil dari keuntungan Freeport selama beroperasi di Indonesia. Dengan begitu, pemerintah selaku pemilik 9,36 persen saham sejatinya telah berinvestasi tidak hanya Freeport. “Bukti, selama dua tahun ini, ketika Freeport mulai menggenjot investasi tambang bawah tanah, Indonesia tidak memperoleh bagian dividen,” kata dia.
Mau beli, siapkan dana
Untuk itulah, Perhapi berupaya menggagalkan rencana pemerintah menggelar nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan Freeport.
Sebaliknya, Pengamat Tambang, Priyo Pribadi menilai, 20,76 persen saham Freeport bernilai 1,7 miliar dollar AS layak untuk Indonesia lantaran hasil yang bakal Freeport raup hingga 2041. Yang menjadi persoalan adalah justru kesiapan pemerintah untuk mengumpulkan dana pembelian saham tersebut.
“Jangan sampai pemerintah maupun perusahaan tak punya uang untuk membeli saham Freeport. Bisa pakai obligasi atau dana pinjaman,” katanya kepada KONTAN.
Ia meyakinkan, harga tersebut memang layak untuk Indonesia karena Freeport memiliki cadangan yang belum habis hingga 2041. Nah, soal harga satuan sahamnya, ia menyarankan supaya pemerintah atau perusahaan yang berniat membeli, bisa menawar harga saham.
Mumpung masih ada waktu, ada baiknya pihak yang ingin membeli sebagian saham Freeport lebih awal menyiapkan diri dengan baik untuk mencari dana. Jangan sampai lepas ke pihak lain. (Muhammad Yazid, Pratama Guitarra)