CEMWU, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian formil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Selasa (7/3/2023) di Ruang Sidang Panel MK.
Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 22/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh dari Aliansi Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS).
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Ari Lazuardi selaku kuasa hukum menyampaikan perbaikan permohonan sebagaimana saran dan pertimbangan dari Hakim Konstitusi.
“Perbaikan pertama mengenai pemohon yang mana sebelumnya ada saran dari Yang Mulia untuk mengkualifikasi pemohon sebagai perwakilan lembaganya dengan ini kami ubah dari 15 pemohon menjadi 10 pemohon. Karena dalam beberapa pemohon itu dalam konteks pengujian perppu ini diwakili oleh dua orang sekaligus atau juga hanya satu orang sekaligus,” terangnya.
Kemudian, sambungnya, uraian mengenai kewenangan MK tidak banyak diubah hanya dilengkapi secara hierarki. “Tenggat waktu juga kami tegaskan kembali dari saran Yang Mulia Daniel Yusmic bahwasannya 41 hari sejak diundangkan,” ujar Ari.
Mengenai kedudukan hukum para Pemohon terdapat perubahan yang disesuaikan dengan AD/ART. “Kami juga sudah tegaskan dalam bukti tambahan kami masukkan surat mandat dari masing-masing organisasinya, khusus untuk dari Persatuan Pegawai Indonesia Power misalkan hanya Ketua dan Sekretaris I itu sesuai dengan AD/ART sebagaimana dimaksud dalam angka 22 halaman 17 perbaikan permohonan kami, Yang Mulia,” ucapnya.
Sebelumnya, pada sidang Pendahuluan (22/3/2023), para Pemohon yang merupakan pimpinan pengurus federasi maupun serikat pekerja tingkat pusat menilai Perppu Cipta Kerja melahirkan norma baru yang dapat merugikan kepentingan para Pemohon.
Kerugian yang dialami para Pemohon, di antaranya status hubungan kerja yeng cenderung melegalkan praktik perjanjian kerja tertentu berkepanjangan, kaburnya konsep upah minimum, maka hilangnya minimum upah sektoral, berkurangnya hak runding serikat buruh, berkurangnya nilai pesangon, tidak jelasnya nilai sosial hingga potensi terjadi banyaknya perselisihan karena tidak jelasnya peraturan peralihan yang mengatur norma baru dan norma-norma yang dihilangkan dalam Bab IV Ketenagakerjaan.
Lebih lanjut Para pemohon juga menyebut, baik dalam konsideran menimbang maupun dalam bagian penjelasan Perppu Cipta Kerja dikatakan sebagai bentuk tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terhadap temuan pelanggaran prosedur tersebut, Ari mengutip putusan, menyebut MK memerintahkan pembentuk UU untuk memperbaiki pelanggaran yang ada dan memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan UU dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut.
Dengan merujuk pada amar putusan angka 4 dan dikaitkan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020 yang pada pokoknya menyatakan memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam hal memperbaiki penggunaan metode yang pasti, baku, dan standar, memenuhi partisipasi masyarakat yang lebih bermakna dan perbaikan perubahan naskah yang substansial. Namun justru melalui Perppu Cipta Kerja membuktikan Presiden telah tidak memenuhi dan bahkan jauh dari perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Berdasarkan hal-hal dan alasan mengenai tidak cukupnya alasan kegentingan memaksa dalam penetapan Perppu Cipta Kerja, Pemohon meminta MK menyatakan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Sumber : https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19005&menu=2