KEPTV | Jakarta, 20 Agustus 2025 — Angka memang tidak pernah berbohong. Jika benar seorang anggota DPR menerima gaji hingga Rp104 juta per bulan, maka dalam sehari mereka menikmati sekitar Rp3,4 juta. Bandingkan dengan buruh kontrak atau outsourcing di Jakarta yang hanya memperoleh Rp5 juta per bulan, atau Rp150 ribu per hari. Jauh lebih tragis lagi, pekerja sektor informal seperti ojek online hanya mampu membawa pulang Rp20 ribu per hari—jumlah yang bahkan tidak cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan dapur.
Kesenjangan ini bukan sekadar statistik, tetapi wajah nyata ketidakadilan sosial di negeri ini. DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat, hidup dalam lingkaran privilese dengan gaji besar, tunjangan melimpah, dan jaminan pensiun seumur hidup. Sebaliknya, jutaan rakyat kecil justru dibiarkan terombang-ambing dalam sistem kerja fleksibel, outsourcing, hingga skema kemitraan yang penuh eksploitasi.
Di manakah letak keadilan ketika mereka yang mengaku sebagai “wakil rakyat” hidup di menara gading kemewahan, sementara rakyat yang mereka wakili harus berjibaku untuk sekadar bertahan hidup? Bagaimana bisa DPR membicarakan nasib buruh dan rakyat kecil, jika jarak sosial dan ekonomi yang terbentang begitu jauh hingga suara rakyat tak lagi terdengar?
Kesenjangan ini telah melahirkan rasa ketidakpercayaan yang akut. Rakyat semakin apatis, merasa suaranya tidak berarti, karena yang mereka lihat adalah wakilnya sibuk menjaga kepentingan kelompok sendiri. Demokrasi tanpa keadilan sosial hanyalah ilusi.
Kita perlu bertanya: apakah DPR benar-benar bekerja untuk rakyat, atau sekadar menikmati fasilitas dari keringat rakyat? Apakah gaji dan tunjangan selangit itu sepadan dengan kualitas kerja legislasi yang sering dipertanyakan?
Sudah saatnya kita menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan nyata dari lembaga legislatif. Jika tidak, jurang antara rakyat dan wakilnya akan semakin menganga, dan demokrasi hanya akan menjadi panggung sandiwara yang kehilangan makna.
Rakyat tidak butuh wakil yang hidup mewah di atas penderitaan mereka. Rakyat butuh wakil yang merasakan denyut kehidupan di bawah, yang mengerti harga beras, biaya sekolah, dan ongkos transportasi harian. Rakyat butuh keadilan, bukan kesenjangan.



