DEMO, MOGOK KERJA DAN HAK MOGOK Oleh: Indra Munaswar Jakarta, 4 September 2023
Selama ini dilingkungan dunia kerja masih banyak para pekerja yang tidak bisa menbedakan antara demo dengan mogok kerja.
Ketika mendapat ajakan dari perangkat organisasi pekerja untuk melakukan Mogok Nasional, maka ketika ajakan itu dilaksanakan, ternyata yang dilakukan adalah demo atau unjuk rasa.
Mari kita kupas perbedaan Demo, Mogok Kerja dan Hak Mogok.
DEMO ATAU UNJUK RASA
Demo, kata lengkapnya Demonstrasi atau biasa disebut Unjuk Rasa adalah merupakan salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Dalam UU No. 9 Tahun 1998 dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk menyampaikan pendapat atau pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyampaian pendapat itu dilakukan di muka umum yaitu dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan/atau dilihat setiap orang.
Undang-undang ini pun menyatakan bahwa penyampaian pendapat dalam bentuk Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
Penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, dalam bentuk: a. unjuk rasa atau demonstrasi; b. pawai; c. rapat umum; dan/atau d. mimbar bebas.
Dikecualikan dari tempat terbuka tersebut adalah: 1) di lingkungan istana kepresidenan (yaitu istana presiden dan istana wakil presiden dengan radius 100 meter dari pagar luar), 2) tempat ibadah, 3) instalasi militer (meliputi radius 150 meter dari pagar luar), 4) rumah sakit, 5) pelabuhan udara atau laut, 6) stasiun kereta api, 7) terminal angkutan darat, dan 8) obyek-obyek vital nasional (meliputi radius 500 meter dari pagar luar).
Selain itu, penyampaian pendapat di muka umum tidak boleh dilaksanakan pada hari-hari besar nasional.
Pelaku atau peserta penyampaian pendapat dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.
Penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi atau unjuk rasa wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri; dan selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai, pemberitahuan tersebut telah diterima oleh Polri setempat.
Pemberitahuan secara tertulis tersebut disampaikan oleh yang bersangkutan, atau pemimpin, atau penanggung jawab kelompok, dengan menjelaskan: a. maksud dan tujuan; b. tempat, lokasi, dan rute; c. waktu dan lama; d. bentuk; e. penanggung jawab; f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan; g. alat peraga yang dipergunakan; dan/atau h. jumlah peserta.
Atas surat pemberitahuan tersebut, POLRI wajib: a) memberikan surat tanda terima pemberitahuan; b) berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum; dan c) berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat;
Dan Polri pun mesti bertanggung jawab atas: a) persiapan pengamanan tempat, lokasi, dan rute; b) terlindunginya pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum; dan c) menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Disebut dengan Demonstrasi Nasional atau Unjuk Rasa Nasional jika demo tersebut dilaksanakan tidak saja di Ibukota Negara Jakarta, tapi juga dilaksanakan di seluruh provinsi dan di kabupaten, kota; terutama di wilayah yang padat industri.
MOGOK KERJA
Dalam Pasal 1 angka 23 UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan, Mogok Kerja didefinisikan sebagai tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
Menurut UU No. 13/2003, bahwa Mogok Kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dilakukan sebagai akibat gagalnya perundingan mengenai perselisihan hubungan industrial.
Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu.
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa Mogok Kerja hanya sebatas pada masalah hubungan industrial semata, sebagai akibat tidak dipenuhinya tuntutan oleh pihak perusahaan.
UU No. 13/2003 lebih lanjut mengatur, bahwa untuk dapat melaksanakan Mogok Kerja, harus memenuhi ketentuan dan persyaratan, yakni:
- Jika ingin mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja, mesti dilakukan dengan tidak melanggar hukum;
- Bagi yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, harus diatur sedemikian rupa sehingga mogok kerja tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
- Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan Disnaker setempat.
- Dalam Surat Pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat: a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; b. tempat mogok kerja; c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan d. tanda tangan ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
- Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan tersebut mesti ditandatangani oleh perwakilan yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
- Jika mogok kerja dilakukan tanpa pemeritahuan terlebih dahulu, maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara: a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Dalam menghadapi rencana mogok kerja, pengusaha dan Disnaker setempat, mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1) Disnaker setempat dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja wajib memberikan tanda terima.
2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, Disnaker setempat wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
3) Dalam hal perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama (PB) yang ditandatangani oleh para pihak dan Disnaker sebagai saksi.
4) Jika tidak ada kesepakatan dalam perundingan tersebut, maka: 1) pegawai Disnaker segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang; 2) pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja dapat menyepakati apakah mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan undang-undang tersebut di atas dinyatakan sebagai mogok kerja tidak sah.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. 232/Men/2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah, maka mogok kerja yang tidak sah itu dikualifikasikan sebagai mangkir.
Pengusaha wajib memanggil pekerja yang mogok kerja itu untuk kembali bekerja sebanyak 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis.
Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan tersebut, maka dianggap mengundurkan diri.
Mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, dikualifikasikan sebagai mogok kerja yang tidak sah, dan dianggap mangkir.
Dalam hal mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.
Dalam undang-undang, siapa pun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
Siapa pun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Siapa pun yang melanggar larangan tersebut merupakan tindak pidana kejahatan; dan karenanya dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.
Terhadap mogok kerja yang sah, pengusaha dilarang:
- mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
- memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Barang siapa mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan, atau memberikan sanksi atau tindakan balasan kepada pekerja/buruh yang mogok kerja yang sah merupakan tindak pidana pelanggaran; dan karenanya dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta.
Dengan demikian menjadi jelas dan terang perbedaan demonstrasi dengan mogok kerja. Dalam mogok kerja sama sekali tidak melibatkan kepolisian, dan karenanya tidak perlu memberitahukan kepada kepolisian.
Kecuali mogok kerja itu dilaksanakan di luar lingkungan perusahaan, maka tindakan tersebut merupakan mogok kerja yang dibarengi dengan unjuk rasa. Dengan begitu perlu dan wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
HAK MOGOK
Mogok adalah senjata yang cukup ampuh bagi pekerja/buruh untuk mendapatkan hak konstitusionalnya.
Pertanyaan mendasar, apakah gerakan serikat pekerja/serikat buruh hanya sebatas pada gerakan yang mengurusi masalah-masalah yang terkait dengan hubungan industrial saja??
Apakah serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh mengurusi masalah kebijakan-kebijakan negara yang merugikan atau menghilangkan hak-hak konstitusi pekerja/buruh?
Gerakan Serikat pekerja/Serikat buruh pernah mengukir sejarah indah ketika terlibat langsung dalam memengaruhi DPR RI dan Pemerintah dalam pembahasan RUU BPJS yang terjadi pada Maret 2010 ~ Oktober 2011.
Gerakan dengan menggunakan panji KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial) berhasil mendesak DPR RI dan Pemerintah membentuk UU BPJS sebagai pelaksanaan jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.
Konstitusi negara dan perundang-undangan tidak membatasi gerakan dari elemen masyarakat hanya untuk memenuhi kebutuhan komunitasnya saja.
Di dalam UUD 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia – PBB 1948, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, membuka ruang yang luas bagi setiap orang warga negara untuk mendapatkan haknya berupa: hak atas jaminan sosial, hak ekonomi, hak sosial, hak politik, dan hak budaya untuk menjaga martabat dan pertumbuhan bebas pribadi setiap warga negara.
Selain itu, setiap warga negara berhak:
- atas pekerjaan,
- berhak dengan bebas memilih pekerjaan,
- berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan,
- berhak atas perlindungan dari pengangguran,
- berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun bagi keluarganya.
Tetapi sekarang ini, hak-hak sosial, ekonomi, politik, budaya, dan perburuhan tersebut sedang diporak-porandakan, dengan terbentuknya UU Cipta Kerja dengan berdasar metode Omnibus Law.
Di sinilah perlunya peran aktif serikat pekerja/serikat buruh dan elemen masyarakat lainnya untuk mengembalikan hak-hak konstitusional rakyat yang dipasung oleh UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, UU PPSK, dan lain-lain.
Di dalam buku ILO dengan judul HAK MOGOK, terbitan Jakarta tahun 2012, yang judul aslinya: “ILO principles concerning the right to strike”, ditulis oleh Bernard GERNIGON, Alberto ODERO dan Horacio GUIDO, pada tahun 2000, dijumpai suatu prinsip bahwa aksi mogok merupakan sebuah hak dan bukan sekedar aksi sosial.
Bahwa Hak Mogok adalah salah satu sarana di mana para pekerja dan serikat pekerja dapat mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan sosial mereka secara sah.
Dalam buku ILO itu dikupas berbagai hal yang berhubungan dengan Hak Mogok, seperti:
- prinsip dasar tentang hak mogok,
- definisi hak mogok,
- berbagai jenis aksi mogok,
- tujuan mogok,
- mogok politis,
- mogok simpati,
- pekerja yang memiliki hak mogok dan yang tidak memiliki hak mogok,
- mogok pada layanan publik,
- mogok pada layanan esensial,
- jaminan kompensasi untuk para pekerja yang dicabut hak mogoknya,
- mogok dalam keadaan darurat nasional yang genting,
- kondisi untuk melaksanakan hak mogok,
- ketersediaan konsiliasi, mediasi dan arbitrase sukarela bagi pekerja yang dicabut hak mogoknya,
- korum dan mayoritas untuk menyatakan mogok,
- kebebasan bekerja untuk mereka yang tidak melakukan mogok,
- dan lain-lain.
Gagasan yang menyatakan bahwa hak mogok harus dibatasi hanya untuk perselisihan industri telah ditolak oleh Komisi Kebebasan Berserikat dan Komisi Ahli ILO. Karena, kalau hanya soal perselisihan industrial, kemungkinan besar dapat diselesaikan melalui penanda-tanganan kesepakatan bersama.
Aksi mogok yang terkait dengan politik atau yang bersifat politis dapat dilakukan oleh serikat pekerja karena bisa saja terjadi kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah sering memiliki dampak langsung kepada para pekerja atau majikan; seperti yang sekarang terjadi dengan terbentuknya UU Cipta Kerja.
Komisi Kebebasan Berserikat telah menetapkan bahwa, pernyataan ilegalitas (tidak sah) terhadap mogok nasional yang memprotes konsekuensi sosial dan perburuhan berdasarkan kebijakan ekonomi pemerintah dan larangan mogok merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan berserikat. (ILO, 1996d, ayat 493).
Komisi Kebebasan Berserikat ILO telah beberapa kali menetapkan bahwa mogok di tingkat nasional adalah sah selama mogok-mogok tersebut memiliki tujuan sosial dan ekonomi dan tidak hanya politis murni.
Dapat disimpulkan, bahwa kepentingan yang terkait dengan pekerjaan dan ekonomi yang dibela para pekerja melalui pelaksanaan hak mogok tidak hanya terkait dengan kondisi kerja atau yang lebih baik atau tuntutan kolektif yang sifatnya terkait dengan pekerjaan, namun juga mencari solusi atas masalah kebijakan ekonomi dan sosial, tanpa melanggar ketertiban.
Mogok Nasional bisa terjadi jika terhentinya alat-alat produksi dilakukan secara serempak di seluruh wilayah tanpa perlu mengerahkan massa di jalanan.