10 Serikat Pekerja dan 111 Pekerja UU Cipta Kerja Cacat Secara Formiil

by -140 Views

CEMWU, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian formiil dan materiil Pasal 80 dan 81 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Sidang Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Selasa (9/5/2023) oleh Panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih.

Permohonan diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 Serikat Pekerja dan 111 Pekerja. Para Pemohon melalui M. Fandrian Adhistianto selaku kuasa hukum menyebutkan UU Cipta Kerja cacat secara formil dan pasal-pasal a quo pun bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Kuasa hukum berikutnya, Endang Rokhani, menjabarkan alasan permohonan. Di antaranya tentang persetujuan DPR RI atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).

Menurut para Pemohon, hal ini berarti sama halnya DPR RI menyetujui alasan kegentingan memaksa Presiden dalam menetapkan Perppu Cipta Kerja.

“Oleh karena itu, dalam mengkaji konstitusionalitas permohonan merujuk pada alasan syarat kegentingan memaksa dalam penetapan Perppu Cipta Kerja. Dengan demikian, persetujuan atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang kemudian menjadi UU Cipta Kerja ini menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 22 Ayat (1) dan (2) UUD 1945,” ujar Endang.

Berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan.

Kuasa hukum berikutnya, Mustiyah, menyebutkan, secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Secara umum, sambung Mustiyah, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Sehingga, terdapat kontraproduktif antara alasan Kegentingan Memaksa dalam Aspek Ketenagakerjaan Indonesia sebagaimana keterangan Presiden atas RUU Perppu menjadi undang-undang yang disampaikan dalam Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI dengan Pemerintah pada 14 Februari 2023.

“Dengan didegradasi perlindungan hukum terhadap pekerja dari sebelumnya telah lebih baik diatur, berdampak pada banyaknya pemutusan hubungan kerja yang akan berujung pada meningkatnya pengangguran,” sebut Mustiyah.

Mustiyah selanjutnya mengatakan alasan permohonan berikutnya tentang Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan memberikan waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Tenggang waktu dua tahun yang diberikan merupakan waktu yang seharusnya dimanfaatkan oleh pembentuk undang-undang untuk sigap, taat, dan cekatan melaksanakan perintah putusan MK.

“Sudah sepatutnyalah Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas penetapan undang-undang a quo sebagai bentuk pembangkangan yang mencederai keagungan Mahkamah Konstitusi. Jika model begini dibiarkan, para Pemohon khawatir potensi lemahnya fungsi check and balances dan membuat ketidakpercayaan publik terhadap MK karena putusannya tidak berdaya di hadapan lembaga negara lain,” kata Mustiyah.

Adapun sejumlah 121 Pemohon yang dimaksudkan, di antaranya Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI); Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia ’98 (PPMI ’98); Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (SP PLN); Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi, dan Umum (FSP KEP); Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB); Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi (FSP PAR); Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI), Serikat Pekerja Aqua Group (SPAG).

Berikutnya terdapat pula perseorangan warga negara yang bekerja pada berbagai perusahaan di antaranya Leksono Widodo dan beberapa pekerja PT Unilever Indonesia, Tbk; Agun Gunawan dan sejumlah pekerja PT Tokai Dharma Indonesia; Sarono dan sejumlah pekerja PT Pearl Star International; Edi Susanto dan beberapa pekerja PT Multistrada Arah Sarana Tbk.; Edi Supriyanto serta pekerja PT NOK Indonesia; Taryono berserta sejumlah pekerja PT Bridgestone Tire Indonesia Bekasi; Taufik Rahman PS dengan sejumlah pekerja PT Muliaglass Safety; dan beberapa pekerja dari PT Mulia Keramik Indah Raya, PT South Pacific Viscose, PT Nipsea Paint And Chemicals Plant Purwakarta, PT Cengkareng Permai, PT Indo Bharat Rayon, PT Surya Toto Indonesia Tbk, dan lainnya.

Menanggapi permohonan setebal 112 halaman ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan catatan nasihat mengenai perlu bagi para Pemohon untuk melihat dan mempelajari kembali putusan-putusan MK terdahulu untuk mempedomani sistematika permohonan yang lazim di MK. Selain itu, para Pemohon juga perlu mencermati substansi dari norma yang diujikan.

“Kembangkan dengan bukti yang kuat adanya persoalan konstitusionalitas dalam Perppu tersebut. Kemudian dengan legal standing perlu juga ditambahkan keterpautan kedudukan dengan elaborasi syarat-syarat kerugian konstitusional. Uraiannya belum ada di uji formiil dan justru adanya di uji materiilnya,” tutur Enny.

Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo menasihati tentang alasan-alasan yang diajukan para Pemohon yang diharapkan lebih hati-hati mengingat terdapat uraian uji formiil dan materiil. Apabila ingin menggabungkan pengujiannya, pada narasi permohonan sebaiknya fokus pada pasal-pasal yang diujikan sehingga terlihat pada petitum yang dimintakan kepada Mahkamah.

Terakhir, Hakim Kontitusi Arief Hidayat meminta agar para Pemohon memperhatikan permohonan yang baik, bermakna permohonan yang tuntas dan memudahkan para hakim konstitusi dalam memahami permintaan dari para Pemohon.

Selanjutnya Arief berharap para Pemohon membuat klaster pasal-pasal yang dikontestasikan. “Sehingga memudahkan untuk dianalisis dan pembuktiannya pun menjadi mudah pada masa sidang-sidang berikutnya,” ucap Arief.

Sebelum mengetok palu tanda berakhirnya persidangan hari ini, Arief menyatakan para Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya hingga Senin, 22 Mei 2023 pukul 14.00 WIB untuk memperbaiki permohonannya. Selanjutnya naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK untuk kemudian dijadwalkan sidang berikutnya.

Sumber: mkri.id