CEMWU — Beberapa hari belakangan ini media sosial ramai memperbincangkan adanya perusahaan yang disebutkan berada di Cikarang, Kabupaten Bekasi yang dalam melakukan perpanjangan kontrak bagi pekerjanya diduga mempersyaratkan agar pekerja kontrak mau diajak “staycation” oleh atasannya.
Bagi sebagian besar orang berita ini sangatlah mengejutkan, akan tetapi sesungguhnya perlindungan terhadap pekerja perempuan dari tindak pelecehan dan kekerasan di tempat kerja memang masih sangat buruk dan memprihatinkan, data hasil survey Never Okay Project pada tahun 2018 misalnya menerangkan bahwa sebanyak 80% Pekerja/Buruh dan Pegawai mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, dan hanya 1% yang berani melaporkannya.
Pekerja kontrak/harian/magang merupakan salahsatu kelompok pekerja yang paling rentan mendapatkan tindakan pelecehan dan kekerasan di tempat kerja dengan modus yang sangat beragam.
Jauh sebelum isu ini ramai dan viral di medsos, Serikat Pekerja sebagai sebuah organisasi yang wajib memberikan perlindungan bagi para pekerja yang menjadi anggotanya di perusahaan sudah mempunyai banyak pengalaman dalam menangani dan mendampingi pekerja yang mengalami pelecehan dan kekerasan di tempat kerja, baik yang dilakukan oleh sesama pekerja, oleh atasan bahkan oleh pekerja asing.
Berbagai kebijakan untuk melindungi pekerja perempuan dari tindakan pelecehan dan kekerasan di tempat kerja juga dibuat dan dikembangkan oleh pengusaha atas dorongan serikat pekerja, sebagian bahkan mengadopsinya dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di Perusahaan.
Kabupaten Bekasi sebagai daerah dengan kawasan industri terbesar di Indonesia dengan banyak perusahaan yang mempekerjakan pekerja perempuan di dalamnya tentu memerlukan kebijakan yang tegas untuk memastikan terpenuhi perlindungan dan hak-haknya sebagai perempuan baik di tengah masyarakat maupun di tempat kerja.
Salahsatu upaya untuk memberikan perlindungan terhadap tindak pelecehan dan kekerasan di tempat kerja, pada bulan Juni 2020 SPSI Bekasi bersama SP/SB di Kabupaten Bekasi mengajukan draft sandingan untuk memperkuat perlindungan pekerja perempuan di tempat kerja dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi tentang Perlindungan Perempuan yang sedang dibahas oleh DPRD Kabupaten Bekasi.
Salahsatu hal yang diusulkan oleh SP/SB saat itu yaitu dibangunnya rumah perlindungan pekerja perempuan di tempat kerja (RP3) di Kabupaten Bekasi.
Hal ini didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah perlindungan Pekerja Perempuan di tempat kerja disebutkan bahwa Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan yang selanjutnya disebut RP3 adalah tempat, ruang, sarana, dan/atau fasilitas yang disediakan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak terhadap pekerja perempuan di tempat kerja.
Peraturan Mentri KPPA ini menjadi sangat penting untuk diadopsi dan dikembangkan di Kabupaten Bekasi sebagai daerah dengan kawasan industry terbesar di Indonesia dan menyerap banyak pekerja perempuan, yaitu bertujuan untuk:
a. tersedianya RP3 di Tempat Kerja; b. adanya mekanisme atau prosedur dalam penyediaan RP3 di Tempat Kerja; dan c. adanya kerja sama dan koordinasi dalam penanganan Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan korban masalah ketenagakerjaan, diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia di Tempat Kerja.
Penyediaan RP3 ini sebagaimana ditegaskan pada pasal 7 diharapkan dapat memberikan layanan kepada pekerja perempuan di kabupaten Bekasi untuk:
a. pencegahan kekerasan terhadap Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan; b. penerimaan pengaduan dan tindak lanjut; dan c. pendampingan.
Tersedianya RP3 di kabupaten Bekasi ini tentu tidak serta merta akan menyelesaikan persoalan pelecehan dan kekerasan di tempat kerja, akan tetapi setidaknya akan menjadi langkah penting sebagai komitmen dan semangat bersama untuk mengokohkan perlindungan bagi pekerja perempuan.
Secara lebih lengkap rekomendasi dari SPSI Bekasi dan SP/SB di Kabupaten Bekasi untuk memperkuat perlindungan pekerja perempuan di tempat kerja dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi tentang Perlindungan Perempuan bulan Juni 2020 lalu yaitu sebagai berikut:
- Untuk menjaga keberlanjutan dan partisipasi dari SPSI Kab/Kota Bekasi diharapkan agar SPSI kab/Kota Bekasi dilibatkan secara aktif untuk menyampaikan usulan materi-materi Perlindungan Perempuan, khususnya Perlindungan bagi Pekerja Perempuan.
- Agar dalam Perda Perlindungan tersebut, mengingat kabupaten Bekasi merupakan daerah dengan banyak kawasan industri dan banyak pekerja di masyarakat, dimasukan satu bab khusus tentang Perlindungan Pekerja Perempuan.
- Terkait dengan muatan dalam bab khusus tentang perlindungan pekerja perempuan setidaknya memuat pasal tentang:
a. Fasilitas Pelayanan Perlindungan Pekerja Perempuan di Kabupaten Bekasi diantaranya: 1) Dibangunnya Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan di Kabupaten Bekasi 2) Tersedianya shelter/tempat menunggu jemputan yang aman dan nyaman buat para pekerja perempuan 3) Tersedianya pos-pos keamanan/pos jaga kepolisian untuk memastikan pekerja perempuan aman selama perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya 4) Tersedianya ruang laktasi di kantor-kantor instansi pemerintahan, fasilitas umum (perbelanjaan, bank, rumah sakit, dsb) b. Mewajibkan perusahaan yang ada di Bekasi untuk menyediakan fasilitas buat pekerja perempuan yaitu diantaranya: 1) Kendaraan antar jemput bagi pekerja perempuan yang masuk bekerja pada malam hari dengan titik jemput lokasi terdekat dengan rumah tinggal pekerja 2) Tempat Penitipan Anak yang lokasinya berdekatan dengan perusahaan 3) Memberikan fasilitas makan dengan gizi cukup dan seimbang sekurang-kurangnya setara dengan 1400 kalori untuk setiap kali makan setiap harinya 4) Memberikan tambahan makanan dan minuman bergizi di saat-saat istirahat singkat di luar makan yang diberikan untuk menjaga stamina dan kebugaran tubuh pekerja. 5) Menyediakan toilet dengan jumlah yang memadai sesuai dengan jumlah pekerja dilengkapi dengan semua kelengkapannya yang letaknya terpisah dari toilet laki-laki, termasuk toilet khusus untuk pekerja perempuan yang sedang hamil dan pekerja perempuan penyandang disabilitas. 6) Menyediakan loker dan tempat ganti pakaian yang aman yang letaknya terpisah dari loker laki-laki. 7) Tempat laktasi bagi pekerja perempuan yang sedang menyusui 8) Menyiapkan alat pelindung diri khusus yang diperlukan bagi pekerja perempuan 9) Menyiapkan fasilitas pembilasan tubuh cepat yang tertutup disertai dengan kelengkapannya. c. Mewajibkan semua perusahaan yang ada di kabupaten Bekasi untuk memberikan perlindungan maternitas bagi pekerja perempuan, yaitu; 1. Memberikan Cuti Haid kepada pekerja perempuan pada hari pertama dan kedua haid dengan persyaratan pekerja yang sedang haid menyampaikan pemberitahuan baik lisan maupun tertulis maupun memalui media social kepada atasan atau manajemen perusahaan dengan tetap mendapatkan upah penuh, pemberian cuti haid tidak dilakukan dengan pemeriksaan darah pekerja perempuan. 2. Cuti Melahirkan, diberikan untuk masa jangka waktu 1,5 (satu setengah) bulan sebelum pekerja melahirkan sesuai dengan perkiraan dari Dokter atau Bidan dan 2 bulan setelah pekerja melahirkan untuk meningkatkan kualitas perawatan terhadap bayi maupun pemulihan kesehatan pekerja. 3. Cuti Gugur Kandungan, diberikan untuk jangka waktu 1,5 bulan setelah pekerja keguguran dan perpanjangannya sesuai dengan petunjuk dokter. Keguguran yang terjadi di tempat kerja dikategorikan sebagai kecelakaan kerja. 4. Fasilitas khusus buat pekerja perempuan yang sedang hamil berupa: a) Tidak dipekerjakan pada malam hari pada saat pekerja diketahui hamil sampai dengan usia anak mencapai 24 (duapuluh empat) bulan. b) Dipekerjakan pada bagian yang ringan/line khusus untuk pekerja perempuan yang sedang hamil c) Jam masuk dan keluar khusus serta Pintu masuk khusus bagi pekerja perempuan yang sedang hamil untuk memberikan perlindungan bagi kesehatan dan keselamatannya d) Baju seragam khusus bagi pekerja perempuan yang sedang hamil, dengan model baju longgar dan celana/rok yang menggunakan tali karet (bukan kancing) e) Kepada pekerja perempuan diberikan tunjangan khusus selama hamil maupun melahirkan f) Makanan khusus untuk pekerja perempuan yang sedang hamil dilengkapi dengan makanan dan minuman tambahan 5. Fasilitas laktasi bagi pekerja perempuan yang sedang menyusui serta kesempatan untuk menyusui yang dapat dipergunakan selama waktu kerja di perusahaan. d. Agar Bupati mewajibkan semua perusahaan dan instansi yang berada di Kabupaten Bekasi memiliki skema pencegahan kekerasan dan pecehan di tempat kerja, berupa: 1) Memiliki kebijakan anti kekerasan dan pelecehan serta mensosialisakannya kepada pekerja, tamu, pengunjung, pemasok dan pihak lainnya 2) Di perusahaan disusun kebijakan anti kekerasan dan pelecehan dengan melibatkan Serikat Pekerja/Perwakilan pekerja serta dilakukan pengawasan terhadap kebijakan ini secara bersama-sama dengan membentuk tim pencegahan dan pengaduan tindakan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. 3) Kebijakan anti kekerasan dan pelecehan yang disusun menetapkan mekanisme pemberian sanksi bagi pelaku tindak kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. 4) Kebijakan anti kekerasan dan pelecehan yang dibuat harus juga menetapkan jaminan perlindungan bagi pekerja yang menjadi korban maupun pendamping yang melaporkan terjadinya tindak kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. e. Agar Bupati mewajibkan semua perusahaan dan instansi yang berada di Kabupaten Bekasi memiliki kebijakan anti diskriminatif di tempat kerja, berupa: 1) Perusahaan memiliki kebijakan anti diskriminasi secara tertulis serta mensosialisakannya kepada pekerja, tamu, pengunjung, pemasok dan pihak lainnya 2) Di perusahaan disusun kebijakan anti diskriminasi dengan melibatkan Serikat Pekerja/Perwakilan pekerja berupa: a) Pemberian Upah dan Tunjangan yang sama bagi pekerja perempuan dan laki-laki termasuk kepada pekerja kontrak (PKWT), misalnya pemberian tunjangan keluarga bagi pekerja perempuan yang sudah menikah tanpa ada syarat tertentu seperti mencantumkan keterangan tidak mampu atau suami tidak bekerja. b) Pemberian akses yang sama kepada pekerja perempuan untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya, termasuk bagi pekerja perempuan penyandang disabilitas. c) Pemberian kesempatan yang sama kepada pekerja perempuan untuk mendapatkan pelatihan dan pengembangan karir di perusahaan, termasuk untuk menduduki posisi strategis di tempat kerja. d) Pemberian hak yang sama kepada pekerja kontrak (PKWT) perempuan, termasuk pekerja PKWT yang sudah menikah, misalnya pemberian cuti menikah, cuti melahirkan dengan tetap dibayarkan upahnya selain pemberian tunjangan pernikahan dan tunjangan melahirkan. 3) Kebijakan anti diskriminati yang disusun menetapkan mekanisme pemberian sanksi bagi pelaku tindak diskriminasi di tempat kerja. 4) Kebijakan anti diskriminasi yang dibuat harus juga menetapkan jaminan perlindungan bagi pekerja yang menjadi korban maupun pendamping yang melaporkan terjadinya tindak diskriminasi di tempat kerja. b. Agar Bupati aksi afirmasi untuk mendorong pekerja perempuan agar lebih berdaya, berupa: 1) Memberikan alokasi Anggaran dari APBD untuk Pelatihan khusus untuk pekerja perempuan, baik terkait dengan pengembangan karir maupun dalam kegiatan berorganisasi di Serikat Pekerja. 2) Memberikan pelatihan keterampilan kepada pekerja perempuan seperti pelatihan kuliner, hidroponik, menjahit, digital marketing dan pelatihan lainnya sebagai upaya untuk membekali pekerja perempuan untuk mendapatkan pendapatan tambahan dan lebih mandiri. 3) Memastikan kepesertaan yang berimbang antara pekerja laki-laki dan perempuan dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan, termasuk keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga Tripartit (LKS Tripartit Daerah, Dewan Pengupahan Daerah) maupun LKS Bipartit di perusahaan. 4) Mewajibkan perusahaan untuk memiliki personalia di bidang K3 dari pekerja perempuan untuk: a) P2K3 b) Ahli K3 Perusahaan c) Petugas P3K d) Pemadam Kebakaran c. Agar Bupati mewajibkan semua perusahaan yang ada di Kabupaten Bekasi untuk memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja perempuan melalui upaya K3 berupa: 1) Melakukan tindakan promotif dengan melakukan pelatihan dan sosialisasi terkait dengan perilaku hidup bersih dan sehat, pengenalan dan pengendalian bahaya di tempat kerja. 2) Melakukan upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja bagi pekerja perempuan, termasuk pencegahan gangguan kehamilan dan janin karena proses pekerjaan. 3) Melakukan tindakan pencegahan penyakit tertentu misalnya pemeriksaan untuk kanker payudara dan kanker leher rahum. 4) Memberikan alat pelindung diri yang diperlukan pekerja secara rutin tanpa dikenakan biaya. Meskipun pada akhirnya hanya sebagian usulan yang diakomodir setidaknya sudah ada upaya yang sangat serius dari SP/SB untuk memberikan pelrindungan bagi para pekerja dari tindakan pelecehan dan kekerasan di tempat kerja. Dan ke depan tentu hal ini akan menjadi agenda yang akan diperjuangkan terus menerus, dalam konteks yang lebih luas yaitu dengan mendorong ratifikasi Konvensi ILO-190 oleh pemerintah RI diantaranya. Bekasi, 5 Mei 2023.
Tambahan referensi untuk mengenali persolan pekerja perempuan dan batasan jenis-jenis pelecehan dan kekerasan di tempat kerja.
Berbagai Persoalan Pekerja/Buruh dan Pegawai Perempuan di Tempat Kerja
Merujuk pada Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No.1 tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan di Tempat Kerja Konstruksi gender yang masih kuat di lingkungan masyarakat dan lingkungan kerja membuat posisi Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan rentan mengalami tindakan diskriminasi, pelanggaran norma kerja, dan kekerasan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual.
Tindakan Diskriminasi terhadap Pekerja/Buruh dan Pegawai Perempuan
Diskriminasi adalah segala pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan yang mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasankebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Pasal 1 Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita).
Dalam konteks ini, diskriminasi mengacu pada tindakan tidak seimbang serta tidak adil yang dialami oleh Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan di tempat kerja, yang disebabkan oleh konstruksi gender dan pola relasi kuasa yang membuat Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan rentan mendapatkan perilaku diskriminasi dalam pekerjaan di tempat kerja.
Mengacu pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, tindakan diskriminasi terhadap perempuan atas dasar jenis kelamin muncul dalam berbagai aspek, secara ekonomi, politik, sipil, dan sosial budaya.
Dalam bidang ketenagakerjaan ada bentuk-bentuk diskriminasi yang sering dialami oleh Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan seperti:
1. kesenjangan upah Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan akibat dari pemahaman bahwa kapasitas perempuan kurang baik daripada laki-laki;
2. akses kesempatan atau peluang kerja yang tidak sama bagi perempuan dan laki-laki, karena anggapan bahwa perempuan bukanlah kepala keluarga dan laki-laki yang bertugas mencari nafkah;
3. ruang ekspresi yang tidak sama membuat perempuan cenderung tidak percaya diri untuk mengungkapkan pemikiran dan gagasannya;
4. beban ganda, yaitu pada saat perempuan memilih bekerja tidak serta-merta dapat mengubah peran domestik atau beban pengelolaan rumah tangga yang dianggap menjadi tanggung jawab perempuan saja, sehingga perempuan lebih mudah lelah dan sakit;
5. stigma perempuan yang dianggap lemah, maka Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan rentan mengalami diskriminasi berupa kekerasan verbal, fisik, psikis, dan seksual di tempat kerja;
6. sistem kerja di perusahaan yang tidak memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja terhadap Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan termasuk perlindungan terhadap fungsi reproduksi, sehingga tidak mempertimbangkan kebutuhankebutuhan spesifik perempuan dalam bekerja yang bisa membahayakan keselamatan dan kesehatan Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan, misalnya sistem lembur serta regulasi kerja bagi perempuan hamil dan melahirkan.
Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat atau mungkin mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, psikis, atau seksual termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi (Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengintegrasian Materi Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pendidikan dan Pelatihan Penjenjangan dan Teknis).
Kekerasan Berbasis Gender
Kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang langsung ditujukan terhadap seorang perempuan karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional. Hal tersebut termasuk tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental, seksual, atau ancaman-ancaman seperti itu, paksaan, dan perampasan kebebasan lainnya. Kekerasan berbasis gender bisa melanggar ketentuan tertentu dari Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, walaupun ketentuan itu tidak menyatakan secara spesifik adanya kekerasan. (Rekomendasi Umum Nomor 19 Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Tahun 1992 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, ayat 6)
Bentuk-bentuk Kekerasan di Tempat Kerja
Bentuk-bentuk kekerasan di tempat kerja merupakan pengkategorian kekerasan berdasarkan sasaran kekerasan yang dilakukan, yang mencakup fisik, psikologis/mental, seksual, dan penelantaran ekonomi.
1. Kekerasan fisik
Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga). Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang menjadikan tubuh perempuan sebagai sasarannya, misalnya memukul, menusuk, menjambak, meninju, menampar, atau menendang.
2. Kekerasan seksual
Perbuatan yang berkaitan dengan seks atau seksual mulai dari mengomentari bentuk tubuh atau cara berpakaian buruh perempuan, diraba atau disentuh bagian-bagian tubuh perempuan, dipaksa kencan oleh atasan bahkan diperkosa. Selain itu, saat mengajukan cuti haid buruh perempuan yang bersangkutan diperiksa dengan cara menunjukan darahnya. Hal yang paling kerap terjadi pada Pekerja/Buruh dan Pegawai di tempat kerja adalah tindakan pelecehan seksual.
Pelecehan seksual dapat berupa berbagai bentuk. Pada umumnya, ada lima bentuk pelecehan seksual:
- pelecehan fisik, termasuk sentuhan yang tidak diinginkan dengan kecenderungan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik, dan mendelik dengan penuh hawa nafsu;
- pelecehan verbal, termasuk komentar-komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi seseorang, anggota tubuh atau penampilannya, lelucon, dan komentar yang menyiratkan sesuatu yang bersifat seksual;
- pelecehan dengan bahasa tubuh, termasuk bahasa tubuh yang menjurus kepada sesuatu yang bersifat seksual dan/atau gerak-geriknya, kedipan mata yang berulangulang, menjilat bibir, dan gerak-gerik lain dengan menggunakan jari-jemari;
- pelecehan yang bersifat tertulis atau grafis termasuk pemaparan barang-barang pornografi, gambar-gambar eksplisit yang bersifat seksual, gambar pelindung layar komputer atau poster, serta pelecehan melalui e-mail dan sarana komunikasi elektronik lainnya;
- pelecehan psikologis/emosional, termasuk di antaranya permintaan yang terus menerus dan tidak diinginkan, undangan yang tidak diinginkan untuk pergi berkencan, hinaan-hinaan, ejekan-ejekan, dan sindiran-sindiran yang berkonotasi seksual.
Selama ini sulit untuk mendapatkan data mengenai kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja. Beberapa faktor yang mempengaruhi tidak adanya catatan tersebut antara lain adanya rasa takut, rasa malu, tidak tahu harus kemana mengadu, dan lain-lain.
Dalam hal ini, negara harus hadir mewujudkan kenyamanan bagi warganya, khususnya Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan, serta bagi yang rentan terhadap kekerasan seksual. Misalnya tindakan pelecehan seksual di tempat kerja dapat menimpa siapa saja dan merugikan semua pihak, terutama Pekerja/Buruh dan Pegawai perempuan, sehingga mengakibatkan penurunan produktivitas kerja yang berdampak pada kelangsungan usaha bagi pengusaha.
3. Kekerasan psikis
Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga). Kekerasan psikologis dapat muncul dalam bentuk ucapan-ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, atau ancaman. Hal ini akan terus terbawa dalam jangka waktu yang sangat lama, dapat merusak harga diri, menimbulkan kebingungan, bahkan menyebabkan masalah-masalah psikologis serius pada perempuan korban.
4. Pelanggaran hak maternitas
Pelanggaran hak maternitas misalnya seperti keguguran di tempat kerja tidak dianggap kecelakaan kerja, tidak ada fasilitas bagi ibu hamil, ruang laktasi, dan kesempatan perah air susu ibu (ASI) bagi pekerja yang menyusui. Selain itu, sulitnya mendapat cuti haid dan tidak ada tunjangan bagi buruh yang hamil dan melahirkan.