A Health and Safety Working Enviroment A Fundamental RIGHT

by -169 Views

CEMWU, Jakarta — Dalam rangka Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dunia yang diperingati tiap tanggal 28 April 2023, ILO Jakarta menggelar workshop pada hari Kamis 13 April 2023 bertempat di Hotel Pullman Jakarta yang di hadiri 48 perserta perwakilan Serikat Pekerja Serikat Buruh, dalam sambutan ILO yang disampaikan oleh Abdul Hakim (Programme Officer ILO Country Officer for Indonesian & Timor-Leste) yang mewakili Direktur ILO Office Indonesian Ibu Michiko yang berhalangan hadir, bahwa di mana banyak kerja online itu punya bahaya dan resiko yang sebenarnya harus dihadapi & harus direspon dengan positif. 

Bahaya resiko tersebut bagian dari Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3) yang harus direspon dengan baik. Dan kebetulan tahun ini ILO punya tagline “A Health and Safety Working Enviroment A Fundamental RIGHT,” salah satunya tidak hanya bicara masalah bahaya debu, bahaya polusi, bahaya kebisingan dan sebagainya.

Tetapi juga bicara didalamnya tentang Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Dunia Kerja, dan itu juga tidak hanya pada pekerjaan offline tetapi juga pada pekerjaan online. Ini juga yang menjadi dasar bagi ILO untuk memberikan pemahaman kerja-kerja berbahaya dan resiko kerja itu tidak hanya yang terlihat atau yang tampak tetapi juga yang tidak terlihat.

Dan sebenarnya bahaya-bahaya yang tidak terlihat itu punya kerugian yang besar, dan ini yang tidak terlihat itu juga lebih besar. Untuk itu lah diharapkan Serikat Pekerja menjadi barisan kekuatan ‘menolak ‘kekerasan dan pelecehan seksual di dunia Kerja’ karena bisa mengakibatkan bahaya resiko sosial yang nantinya berujung tidak hanya merugikan pribadi pekerja tetapi juga ekosistem yang ada, apakah itu soal lingkungan kerjanya, persoalan bisnisnya dan termasuk juga soal keluarganya.

Saat ini ILO Geneva sedang mengembangkan soal gagasan baru tentang investasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), bagaimana sebenarnya kecelakaan kerja atau kematian kerja termasuk kekerasan dan pelecehan seksual itu akan merugikan tidak hanya pada korbannya tetapi juga bagi ekosistem dunia kerja secara keseluruhan.

Sebagai contoh, orang jatuh saat bekerja keseleo atau patah kakinya dihitung dari bagian kerugian, pertanyaannya KENAPA ? Karena pekerja yang jatuh akan tidak masuk kerja pada esok harinya dan pabrik atau perusahaan akan harus mencari pengganti orang yang sakit tersebut agar pekerjaan tetap terus berlangsung, pimpinan perusahaan akan mencari siapa penggantinya.

Jadi dari hal tersebut investasi K3 adalah sangat penting dipikirkan. Dalam konteks Kekerasan dan Pelecehan Seksual pasti problemnya lebih panjang lagi, tidak hanya masalah siapa yang dirugikan, siapa yang melakukan tetapi tetapi juga bagaimana image dalam hal ini akan berdampak pada sejumlah hal, termasuk juga sejumlah keuntungan yang harusnya didapat teman-teman Serikat Pekerja, tenaga kerja, dan juga termasuk pihak manajemen dan pengusaha.

Berlanjut dalam paparan materinya Abdul Hakim (Programme Officer ILO Country Office for Indonesian & Timor- Leste) menyampaikan bahwa Governing Body pada bulan Maret 2021 tentang ‘peluang dan tren dan tantangan K3 secara global’ yang pertama itu trennya sampai saat ini global 2023 masih relevan K3 masih dianggap mahal, high level, masih dianggap terpisah dari fundamental seluruh hak. Padahal hal tersebut justru merugikan yang berfikir K3 itu mahal, terpisah dan problem.

Yang ke kedua, ternyata kematian dari beban kerja itu tidak didistribusikan dengan secara merata di seluruh dunia. Hasil laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada bulan Maret 2021 mencakup di 183 negara memperkirakan pada 2016 ada 1,9 juta orang yang meninggal karena penyakit dan cedera akibat pekerjaan mereka.

Merujuk pada WHO/ILO Joint Estimates of the Work-related Burden of Disease and Injury, 2000-2016: Global Monitoring Report, sebagian besar kematian terkait pekerjaan disebabkan oleh penyakit pernapasan dan kardiovaskular. Penyakit tidak menular menyumbang 81 persen dari kematian.

Penyebab kematian terbesar adalah penyakit paru obstruktif kronik (450.000 kematian), stroke (400.000 kematian) dan penyakit jantung iskemik (350.000 kematian). Cedera kerja menyebabkan 19 persen kematian (360.000 kematian).

Studi ini mempertimbangkan faktorfaktor risiko pekerjaan, termasuk paparan jam kerja yang panjang, paparan polusi udara, bahan kimia berbahaya, dan kebisingan. Risiko utama adalah paparan jam kerja yang panjang terkait dengan sekitar 750.000 kematian. Paparan polusi udara (partikel, gas, dan asap) di tempat kerja bertanggung jawab atas 450.000 kematian.

“Sungguh mengejutkan melihat begitu banyak orang benar-benar terbunuh oleh pekerjaan mereka,” kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO,” “Laporan WHO dan ILO adalah panggilan untuk membangunkan negara dan bisnis untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja dengan menghormati komitmen mereka untuk menyediakan cakupan universal layanan kesehatan dan keselamatan kerja.”

Membebani Sistem Kesehatan Laporan tersebut juga memperingatkan bahwa penyakit dan cedera yang berhubungan dengan pekerjaan dapat membebani sistem kesehatan. Selain itu, dapat pula mengurangi produktivitas dan memicu dampak bencana pada pendapatan rumah tangga. Secara global, kematian terkait pekerjaan per populasi turun 14 persen antara tahun 2000 dan 2016. Ini dapat mencerminkan peningkatan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja, dalam laporan itu.

“Namun, kematian akibat penyakit jantung dan stroke yang terkait dengan paparan jam kerja yang panjang masing-masing naik 41 dan 19 persen. Ini mencerminkan tren yang meningkat dalam faktor risiko pekerjaan yang relatif baru menyangkut keadaan psikososial”.

Meningkatkan Kesehatan Populasi Kerja Laporan pemantauan global bersama WHO/ILO yang pertama ini akan memungkinkan para pembuat kebijakan untuk melacak kehilangan kesehatan terkait pekerjaan di tingkat negara, regional, dan global.

Hal ini memungkinkan pelingkupan, perencanaan, penetapan biaya, implementasi, dan evaluasi intervensi yang lebih terfokus untuk meningkatkan kesehatan populasi pekerja dan kesetaraan kesehatan. Laporan tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak tindakan diperlukan untuk memastikan tempat kerja yang lebih sehat, lebih aman, lebih tangguh, dan lebih adil secara sosial, dengan peran sentral yang dimainkan oleh promosi kesehatan tempat kerja dan layanan kesehatan kerja.

Setiap faktor risiko memiliki serangkaian tindakan pencegahan yang unik, yang diuraikan dalam laporan pemantauan untuk memandu pemerintah, dengan berkonsultasi dengan pengusaha dan pekerja.

“Misalnya, pencegahan paparan jam kerja yang panjang memerlukan kesepakatan tentang batas maksimum waktu kerja yang sehat”. Untuk mengurangi paparan polusi udara di tempat kerja, dianjurkan untuk mengontrol debu, ventilasi, dan alat pelindung diri.

“Perkiraan ini memberikan informasi penting tentang beban penyakit terkait pekerjaan, dan informasi ini dapat membantu membentuk kebijakan dan praktik untuk menciptakan tempat kerja yang lebih sehat dan lebih aman,” kata Guy Ryder, Direktur Jenderal ILO.

“Pemerintah, pengusaha, dan pekerja semuanya dapat mengambil tindakan untuk mengurangi paparan faktor risiko di tempat kerja. Faktor risiko juga dapat dikurangi atau dihilangkan melalui perubahan pola dan sistem kerja.” Sebagai upaya terakhir, alat pelindung diri juga dapat membantu melindungi pekerja yang sulit terhindar dari paparan, pungkasnya.

Catatan : Pada Mei 2021, WHO dan ILO merilis studi pertama yang mengukur beban penyakit jantung dan stroke yang disebabkan oleh paparan jam kerja yang panjang (yaitu, 750.000 kematian). Penelitian ini menetapkan jam kerja yang panjang sebagai faktor risiko dengan beban penyakit akibat kerja terbesar.

Dengan diterbitkannya laporan pemantauan global, WHO dan ILO meluncurkan penilaian risiko komparatif global mereka terhadap beban penyakit terkait pekerjaan. Ini mencakup 19 faktor risiko pekerjaan.

Ini adalah studi WHO yang paling komprehensif tentang beban penyakit terkait pekerjaan, dan penilaian bersama pertama dari jenisnya dengan ILO. Referensi : https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_819705/lang–en/index.htm ILO Convention 190 (C.190) Convention 155 (C.155) Apa itu ILO Convention 190 (C.190) secara definisi yakni Pasal 1. (a) istilah “kekerasan dan pelecehan” dalam dunia kerja mengacu pada serangkaian perilaku dan praktik yang tidak dapat diterima, atau ancaman terhadapnya, baik yang terjadi sekali maupun berulang, yang bertujuan, menghasilkan, atau cenderung membahayakan secara fisik, psikologis, seksual atau ekonomi, dan termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender; (b) istilah “kekerasan dan pelecehan berbasis gender” bermakna kekerasan dan pelecehan yang ditujukan pada orang-orang karena jenis kelamin atau gender mereka, atau mempengaruhi orang-orang dari jenis kelamin atau gender tertentu secara tidak proporsional, dan termasuk pelecehan seksual. 2. Tanpa mengurangi ayat (a) dan (b) ayat 1 Pasal ini, definisi dalam undang-undang dan peraturan nasional dapat memberikan konsep tunggal atau konsep terpisah 

C.190 adalah bentuk dalam mengupayakan perlindungan dan Pencegahan, penegakan dan Perbaikan, Bimbingan, Pelatihan dan Peningkatan Kesadaran. Ketentuan-ketentuan Konvensi ini harus diterapkan melalui undang-undang dan peraturan nasional, serta melalui kesepakatan bersama atau tindakan lain yang konsisten dengan praktik nasional, termasuk dengan memperluas atau mengadaptasi tindakan keselamatan dan kesehatan kerja yang ada untuk turut mencakup kekerasan dan pelecehan serta mengembangkan langkah-langkah spesifik jika diperlukan Di sesi kedua, Sulistri & Maria sebagai pemapar dari KSBSI menegaskan dengan contoh pasal PKB dalam menerpakan C.190 ini?. Pasal PKB yang mengandung prinsip inti untuk inklusifitas dan responsive gender dan mendorong implementasi C.87 dan 98, serta mengatur langkah untuk mengakomodir dalam PKB untuk mengimplmentasikannya.

Lalu mengakomodir C.155 dan C.187 ttg K3 sebagai bagian Perlindungan dan Pencegahan. Memuat unsur Penegakan, Pemulihan dan Bantuan, sebagai kompensasi bagi korban. Lalu unsur Bimbingan, Pelatihan dan Peningkatan Kesadaran sebagai upaya pencegahan. Prinsip inti dalam upaya-upaya C.190 diantaranya, aturan penegakan dan perlindungan, upaya pencegahan serta pemulihan dan konpensasi.

Untuk itulah perlunya Serikat Pekerja Serikat Buruh yang ada di Indonesia untuk bergerak bersama dengan membangun jejaring untuk terus menerus mengampanyekan isu-isu Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kekerasan dan Pelecehan Seksual, Kesetaraan Berbasis Gender di Dunia Kerja, mendorong pemerintah untuk dapat mengeluarkan regulasi yang berpihak pada kaum pekerja seperti untuk segera meratifikasi C.190 dan C.155.

Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Pindah ke Dunia Maya (ONLINE) Pada sesi terakhir tidak kalah menariknya menyajikan materi tentang Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Dunia Kerja Online, paparan disampaikan Ida Ayu Prasasti (Program Director KBGO) dan Ellen Kusuma (Pegiat KBGO), bahwa para pelaku kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja sekarang melancarkan aksinya lewat medium teknologi komunikasi digital, para pekerja ternyata masih rentan terkena pelecehan seksual.

Bukan lagi di kantor, para pelaku kini melancarkan aksinya melalui medium teknologi komunikasi digital seperti aplikasi pesan, media sosial, dan webinar. Hal ini menguak dari riset riset Never Okay Project, sebuah inisiatif yang bergerak dalam upaya penghapusan pelecehan seksual, yang bekerja sama dengan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).

Berjudul “#NewAbnormal Situasi Pelecehan Seksual di Dunia Kerja selama Work From Home (WFH)”, riset tersebut berlangsung pada 6-19 April 2020 dengan total 403 responden dari kalangan pekerja. Hasilnya menunjukkan antara lain bahwa 62 persen responden menerima candaan/lelucon seksual, 34 persen dikirimi konten (foto, video, audio, teks, stiker) seksual tanpa persetujuan, 29 persen menerima komentar (hinaan atau 6 kritik negatif) terhadap bentuk tubuh, dan 25 persen menerima rayuan seksual tanpa persetujuan. Pelecehan seksual selama WFH itu terjadi di sarana yang berbeda-beda, karena selama WFH para pekerja menggunakan lebih dari satu sarana teknologi komunikasi.

Hal ini membuat 78 persen korban dilecehkan melalui dua sampai dengan tujuh teknologi komunikasi selama satu bulan WFH. Ellen Kusuma dari SAFEnet mengatakan, peningkatan penggunaan teknologi komunikasi digital selama WFH menyebabkan perubahan gaya perilaku orang dalam berkomunikasi berubah. “Misalnya ada yang butuh bercanda bareng teman-teman kantor. Kalau bercanda langsung lebih terarah, sementara via online enggak. (Candaan seksual tanpa persetujuan kedua belah pihak) Ini sudah termasuk kekerasan berbasis gender online (KBGO),” kata Ellen “

Dalam dunia kerja, teknologi komunikasi umumnya digunakan untuk kerja banyak orang sekaligus. Jika kemudian teknologi ini justru menjadi tempat pelecehan seksual terbanyak yang dialami oleh pekerja, artinya budaya pemakluman atau normalisasi terhadap bentuk pelecehan masih sangat kuat,” ujarnya.

Relasi kuasa yang timpang Menurut hasil riset ini, 56 persen pelecehan seksual dilakukan oleh atasan atau rekan kerja senior. Hal ini berkaitan dengan pengaruh relasi kuasa yang timpang, baik antar jabatan mau pun antar gender, yang terjadi di dunia kerja. Menurut inisiator Never Okay Project, Ida Ayu Prasasti, relasi kuasa itu memengaruhi kerentanan seseorang dalam mengalami pelecehan seksual ketika bekerja.

“Mayoritas korban berada dalam status hubungan kerja sebagai tenaga kontrak, magang, dan staf. Kami tidak menemukan wirausaha yang pernah menjadi korban,” Fakta tersebut juga diperburuk dengan tidak adanya kebijakan tertulis yang dibuat sebagian besar perusahaan guna menangani kasus pelecehan seksual.

Hasil riset ini menunjukkan hanya 15 persen perusahaan yang sudah memiliki regulasi khusus anti-pelecehan seksual, sementara 85 persen lainnya belum memiliki itu. Sikap perusahaan yang seolah belum menganggap penting pencegahan mau pun penanganan kasus pelecehan seksual membuat para pekerja memiliki kepercayaan yang minim terhadap perusahaan bila kasus itu menimpa dirinya.

Sebanyak 94 persen korban pelecehan seksual tidak melapor kepada perusahaan melalui divisi pengembangan sumber daya manusia (HRD) atas dasar beberapa alasan. Tiga puluh delapan persen merasa HRD tidak akan menindaklanjuti kasus yang menimpa mereka, 35 persen merasa khawatir kariernya akan terpengaruh karena aduan ini, 27 persen korban khawatir tidak akan ada pihak perusahaan yang percaya padanya, serta 24 persen korban merasa takut disalahkan. Para responden menyatakan harapan mereka terkait pelecehan seksual : pemberian sanksi yang tegas bagi pelaku (76 persen), adanya hotline aduan kasus pelecehan seksual (67 persen), dan adanya mekanisme pelaporan yang jelas dan terarah (66 persen). Ketiga hal ini bisa diakomodasi apabila perusahaan membuat regulasi jelas yang mengatur masalah pelecehan seksual di perusahaan.

Pelecehan seksual merupakan kasus yang sangat khas yang mengandung banyak dimensi dan variabel di dalamnya, termasuk relasi kuasa dan relasi gender. Karenanya, perusahaan harus membuat mekanisme dan regulasi khusus yang terpisah dari urusan lain, termasuk HRD, ujarnya. “Selain mekanisme pelaporan yang jelas, harus ada perangkat atau orang-orang yang sudah welltrained sehingga mereka kapabel untuk menyatakan secara tegas siapa pelakunya dan siapa korbannya.

Mereka harus diberikan pelatihan agar percaya diri untuk menyatakan bahwa ini memang pelecehan seksual kemudian memberi sanksi”. Sehingga mekanismenya harus khusus. Kalau hanya diberikan pada HRD akan kurang baik. Apalagi kalau pelakunya juga HRD. Harus ada terobosan baru,” Tantangan berikutnya, belum ada definisi yang jelas mengenai terminologi pelecehan seksual itu sendiri.

Tapi perusahaan bisa berpedoman pada tiga indikator: Berbasis gender atau dilakukan semata-mata karena identitas gender, bukan karena dia miskin atau kaya; merendahkan martabat korban; serta menyangkut tubuh dan hasrat seksual. Saat ini adalah momentum bagi perusahaanperusahaan untuk membangun situasi kerja yang lebih baik, terlebih dalam hal pencegahan dan penanganan pelecehan seksual di dunia kerja.

Hasil riset ini telah membuktikan bahwa pelecehan seksual bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, bahkan dalam situasi ketika antar pekerja tidak bertemu secara langsung di tempat kerja. “Jangan sampai kekerasan dan pelecehan seksual secara online dibiarkan dan dilanggengkan sebagai situasi new normal ke depannya. Ketika seseorang melakukan pelecehan seksual, dia telah melakukan hal abnormal”, pungkasnya.