Oleh: Indra Munaswar
Mohon kajian hukum dari kawan-kawan praktisi hukum dan pakar hukum khususnya hukum ketenagakerjaan, serta Hakim Ad Hoc PHI, mengenai proses penyelesaian atas Perbuatan Hukum PHK yang sepihak sifatnya tanpa mesti melalui proses perundingan Bipartit dan Mediasi, tapi langsung saja ke PHI dengan berdasar pada Fatwa Mahkamah Agung No. 094/TUN/IX/1988 tanggal 16 September 1988.
Fatwa MA No. 094/TUN/IX/1988 ini diterbitkan oleh MA atas permintaan Menteri Tenaga Kerja terkait dengan PHK yang dialami oleh Pelaut (ABK) tahun 1988.
Dasar Hukum Fatwa MA adalah:
- Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung: “Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain.”
- Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung: “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.”
Memang benar, Fatwa MA hanyalah berupa pendapat hukum MA yang tidak mengikat, tapi menurut UU MA, Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, dan dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur.
Mungkin Fatwa MA No. 094/TUN/IX/1988 saat ini bisa digunakan dalam proses PPHI di PHI karena menurut Pasal 57 UU PPHI bahwa, Hukum acara yang berlaku pada PHI adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Dengan terbentuknya UU No. 11 Tahun 2020/PERPPU No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, tidak ada lagi ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban bagi pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima, jika prosedur PHK tidak terpenuhi, karena Pasal 170 UU No. 13/2003 telah dicabut.
Perbuatan hukum PHK yang sepihak sifatnya yang dilakukan oleh Pengusaha terhadap pekerja menurut Fatwa MA No. 094/TUN/IX/1988 adalah, suatu perbuatan pengusaha yang tanpa melalui proses perundingan Bipartit telah dengan serta merta melakukan PHK, atau dengan cara apa pun pengusaha telah membebas-tugaskan pekerja dari pekerjaannya sehari-hari dan pekerja tidak dibolehkan masuk kerja lagi dan tidak diberi pekerjaan lagi serta tidak diberikan hak-haknya yang biasanya diterima, yang tidak dibenarkan oleh hukum.
Lebih lanjut Fatwa MA tersebut menjelaskan bahwa sebenarnya keadaan demikian itu menurut hukum sudah masuk dalam jangkauan kompetensi Pengadilan karena perbuatan hukum PHK yang sebenarnya sudah terjadi.
Karena PHK tersebut sudah merupakan suatu perbuatan hukum, maka menurut Fatwa MA itu, apabila perbuatan hukum PHK itu diperselisihkan berarti yang diperselisihkan adalah SOAL HUKUM atau berpusat pada soal: apakah PHK secara sepihak yang telah terjadi dilakukan itu menurut hukum sah atau tidak.
Fatwa MA itu juga menjelaskan bahwa, menurut sistim peradilan di negara kita instansi yang berwenang memutuskan tentang perselisihan hukum hanyalah (semata-mata) BADAN PENGADILAN, untuk menentukan apa hukumnya yang harus berlaku pada perselisihan PHK apabila perbuatan hukum PHK tersebut sudah terjadi dilakukan.
Karena dalam masalah penyelesaian perselisihan hubungan kerja telah terbentuk PHI pada Pengadila Negeri, maka Badan Peradilan yang berwenang menyelesaikan perselisihan perbuatan hukum PHK itu tentunya adalah PHI pada Pengadilan Negeri setempat.
Jika kita berpedoman pada Fatwa MA ini, maka apabila pengusaha telah melakukan perbuatan hukum PHK yang tidak dibenarkan menurut hukum, semestinya pekerja atau serikat pekerja tidak perlu lagi meminta kepada pengusaha untuk berunding bipartit dan tidak perlu meminta penyelesaian melalui Mediasi.
UU Ketenagakerjasn No. 13 Tahun 2003/UU Cipta Kerja/PERPPU Cipta Kerja, dan UU PPHI No. 2 tahun 2004 tidak mengenal penyelesaian perselisihan perbuatan hukum PHK yang dilakukan pengusaha.
Oleh karenanya, dengan berpedoman pada Fatwa MA ini perlu kiranya dicoba oleh pekerja dan/atau serikat pekerja mengajukan gugatan ke PHI untuk menuntut pembatalan PHK tanpa harus terlebih dahulu melalui perundingan Bipartit dan Mediasi. Paling risikonya gugatan tidak diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).
Memang, sejak PHI beroperasi pada tahun 2006 hingga sekarang ini, belum ada pihak pekerja dan/atau serikat pekerja yang mengajukan gugatan langsung ke PHI tanpa terlebih dahulu berunding Bipartit dan Mediasi.
Sebelum gugatan diajukan ke PHI, terlebih dahulu disampaikan SOMASI kepada Pengusaha untuk mempekerjakan kembali pekerja dan membayar hak-hak lainnya.
Dengan pengusaha melakukan perbuatan hukum PHK yang sepihak sifatnya, jelas menunjukkan bahwa pengusaha tidak punya iktikad baik. Karena itu pekerja dan/atau serikat pekerja tidak perlu berputar-putar di seputar bipartit dan mediasi.
Batavia, 1 Maret 2023