RUU KESEHATAN

by -159 Views
RUU KESEHATAN BPJS DIJADIKAN BUMN TANPA DISEBUT BUMN 
Oleh: Indra Munaswar
Koordinator BPJS Watch
Ketua Umum FSPI
Presidium GEKANAS

DPR RI sebagai inisiator perancang RUU Kesehatan, entah atas pesanan siapa, sedang bermain semantik. Nampak jelas RUU ini ingin menghilangkan roh BPJS sebagai badan hukum publik, untuk dikembalikan menjadi BUMN.

Memang status badan hukum publik tidak dihilangkan, tapi batang tubuhnya diposisikan sebagai BUMN, tanpa penyebutan BUMN.

STATUS BPJS DIREDUSIR

RUU Kesehatan masih mengakui bahwa BPJS adalah badan hukum publik berdasarkan Undang-Undang ini, sebagaimana tersebut dalam Pasal 7 ayat (1) UU BPJS.

Tapi kemudian yang semula dalam Pasal 7 ayat (2) UU BPJS disebutkan bahwa BPJS bertanggung jawab kepada Presiden (TITIK), oleh RUU Kesehatan diubah atau didegradasi kedudukan BPJS dengan ketentuan bahwa BPJS bertanggung jawab kepada Presiden MELALUI Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan, dan melalui Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan.

HAK BPJS DIPASUNG

RUU menambah ketentuan baru dalam Pasal 13 yang menyatakan bahwa BPJS juga mesti melaksanakan penugasan dari kementerian kesehatan atau kementerian ketenagakerjaan. Dengan demikian, siapa pun, apakah Dirjen atau Direktur di kedua kementerian tersebut dapat menugaskan Direksi BPJS.

BPJS benar-benar sudah di bawah Kementerian, tidak lagi sejajar dengan Menteri. Benar-benar sudah kembali menjadi Operator murni. Mungkin titik lemah selama ini, adalah karena Direksi BPJS selalu meminta adanya Peraturan Menteri untuk persoalan yang dihadapi. Tidak berani mengambil tindakan sendiri, atau membuat Peraturan Badan sendiri, yang dimungkinkan oleh UU, kerena BPJS adalah Badan Hukum Publik bukan BUMN.

Awal UU BPJS disahkan, KAJS telah mengatakan langsung kepada Dirut PT. Jamsostek dan PT. ASKES yg ketika itu belum berubah menjadi BPJS, bahwa posisi dan kedudukan BPJS bukan lagi Operator dan tidak lagi di bawah Menteri, karena BPJS sejajar Menteri. Dengan begitu BPJS dapat membuat peraturan sendiri untuk kepentingan Peserta.

erdapat pula ketentuan baru dalam Pasal 13 bahwa, Laporan periodik BPJS mengenai program dan keuangan secara periodik 6 bulan sekali tidak lagi langsung kepada Presiden, tapi harus melalui Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Keuangan dengan tembusan kepada DJSN.

DEWAN PENGAWAS DIDEGRADASI

Pasal 21 mengenai Dewan Pengawas BPJS diubah. Ketentuan dalam RUU, memperbanyak keterwakilan kementerian dan mendegradasi keterwakilan unsur Pekerja dan unsur Pengusaha.Dalam Pasal 21 UU BPJS, Anggota Dewan Pengawas terdiri dari:

  • 2 (dua) orang unsur Pemerintah (kementerian kesehatan/ketenagakerjaan dan kementerian keuangan
  • 2 (dua) orang unsur Pekerja,
  • 2 (dua) orang unsur Pemberi Kerja,
  • 1 (satu) orang unsur tokoh masyarakat.

Dalam RUU komposisinya Dewan Pengawas diubah. Unsur dari Pemerintah diperbanyak, dan unsur dari Pekerja dan Pengusaha dikhitan/disunat, menjadi:

  • 2 (dua) orang unsur kementerian kesehatan/ketenagakerjaan;
  • 2 (dua) orang unsur kementerian keuangan
  • 1 (satu) orang unsur Pekerja,
  • 1 (satu) orang unsur Pemberi Kerja,
  • 1 (satu) orang unsur tokoh masyarakat.

Ketua Dewan Pengawas untuk BPJS Kesehatan adalah dari kementerian kesehatan. Sedangkan Ketua Dewan Pengawas untuk BPJS Ketenagakerjaan adalah dari kementerian ketenagakerjaan.

Ketentuan lain di dalam Pasal 21 ditambah dengan ketentuan baru. Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan dapat mengusulkan recalling Anggota Dewan Pengawasan dari unsur kementeriannya kepada Presiden. Tapi tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai kewenangan Menteri Keuangan me-recall Anggota Dewan Pengawas dari kementeriannya.

Dewan Pengawas pun di Pasal 22 ayat 1 huruf d, tidak lagi dapat menyampaikan laporan pengawasan langsung ke Presiden, tapi harus melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan, atau melalui Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan.

Dalam membuat Peraturan Dewan Pengawas, menurut Pasal 22 ayat (4) RUU, Dewan Pengawas harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Keuangan.

PANITIA SELEKSI DIPILIH OLEH MENTERI

Pembentukan Pantia Seleksi Dewan Pengawas dan Direksi BPJS tidak lagi dilakukan oleh Presiden, tapi dalam Pasal 28 ayat (1) RUU, diatur bahwa untuk memilih dan menetapkan anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi, Panitia Seleksi dibentuk oleh Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan, bersama Menteri Keuangan, atas persetujuan Presiden.

PERTANGGUNGJAWABAN BPJS LEWAT MENTERI

Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) RUU, pertanggung jawaban BPJS tidak lagi langsung ke Presiden tapai mesti melalui Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Keuangan.

TIDAK ADA ANGGARAN YANG PASTI

Perubahan UU SJSN dan UU BPJS diselundupkan ke dalam Bab XIII – Pendanaan Kesehatan. Padahal RUU ini mencabut UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan dicabutnya UU Kesehatan ini hilang pula anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD Provinsi, Kabupaten, Kota.

Sedangkan nomenklatur Anggaran Anggaran BPJS sampai hari ini sejak 2011 tidak ada dalam APBN.

Dalam Pasal 410 RUU hanya dinyatakan bahwa, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab mendanai seluruh kegiatan:

a. Upaya Kesehatan masyarakat dengan prioritas pendekatan promotif dan preventif;
b. Upaya Kesehatan perorangan bagi penduduk yang tidak mampu membayar iuran program jaminan kesehatan nasional;
c. Upaya Kesehatan dalam rangka Kewaspadaan Wabah, penanggulangan Wabah, dan kegiatan pasca-Wabah;
d. penguatan Sumber Daya Kesehatan dan pemberdayaan masyarakat;
e. penelitian, pengembangan, dan inovasi bidang Kesehatan;
f. penguatan pengelolaan Kesehatan;
g. Pelayanan Kesehatan untuk kepentingan hukum; danh. Program Kesehatan strategis lainnya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan pendanaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tidak ada disebutkan secara spesifik pendanaan untuk Jaminan Kesehatan secara menyeluruh tidak hanya promotif dan preventif, dan tidak ada Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian untuk fakir miskin dan orang tidak mampu.

Dalam RUU ini tidak disebutkan berapa persen APBN dan berapa persen APBD untuk Kesehatan seperti tersebut dalam UU Kesehatan, dan untuk BPJS.

Apakah draft RUU Kesehatan ini, cukup dibiarkan saja, tak perlu ada perlawanan?

Batavia, 19 Januari 2023