Kedudukan Hukum Perburuhan

by -202 Views
Kedudukan Hukum Perburuhan 
Oleh : Endang Rokhani

Pengantar

Dalam keseharian kita sering mendengar “sudah ada hitam di atas putih belum” atau “wah kalau sudah ada hitam di atas putih….”. Yang dimaksudkan dalam percakapan tersebut adalah apakah sudah ada perjanjian tertentu? Atau wah kalau sudah ada perjanjiannya….pembicaraan ini memperlihatkan bahwa jika sudah ada perjanjian tertulis (hitam di atas putih) maka keadaan yang sedang dibicarakan tidak bisa diperlakukan bebas tetapi harus seperti apa yang telah diperjanjikan, atau orang lain tidak dapat terlibat sembarangan karena sudah ada perjanjian yang mengikat para pihak. 

Atau kalau dikalangan para pekerja/buruh yang menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merasa jengkel ketika menghadapi masalah, misalnya pemutusan hubungan kerja (PHK) pengurus serikat pekerja/serikat buruhnya  menanyakan kepadanya, penyelesaian apa yang diinginkan.Kejengkelan ini dapat dimaklumi karena mungkin anggota  tersebut tidak tahu, aturan   hukum apa yang mengatur masalah PHK tersebut. Pemahaman tentang hukum apa yang mengatur  masalah hubungan kerja/hubungan industrial ini sangat penting agar tidak terjadi tindakan yang merugikan diri sendiri, terutama yang berkaitan dengan masalah hukum, khususnya dalam dunia kerja.

Tinjauan  Hukum 

Menurut isinya hukum dapat dibagi dalam hukum privat (Hukum sipil)  dan hukum Publik (hukum Negara). Hukum Privat adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan  kepada kepentingan perseorangan (mengatur hubungan antar warga negara). Dalam arti yang sempit hukum privat adalah hukum perdata.  Sedangkan hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara  Negara dengan perseorangan (hubungan  antara Negara dengan warga Negaranya) salah satu hukum publik yang sangat dikenal oleh masyarakat adalah hukum pidana.

Dimana hukum perburuhan berada? Mengenai pertanyaan ini, sebenarnya masih terjadi perdebatan untuk menjawab pertanyaan ini. Ada  yang mengatakan bahwa hukum perburuhan adalah hukum publik, hal ini dipresentasikan oleh adanya penetapan upah minimum oleh pemerintah, besaran pesangon dalam yang ditetapkan dalam undang-undang ketika terjadi PHK  ataupun adanya mediator dari pemerintah ketika terjadi perselisihan hubugnan industrial/perburuhan. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa hukum perburuhan murni hukum perdata, karena diperkenankannya buruh dan majikan membuat perjanjian kerja sendiri, baik secara kolektif maupun perorangan. Dimana isi perjanjian kerja dapat ditetapkan oleh para pihak, tentu saja sepanjang tidak melanggar ketentuan Undang-undang, kesusilaan dan norma agama.Sementara itu jika ditinjau dari sifat Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial menetapkan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata.

Maka jika dilihat dari kedua hal tersebut, jelas bahwa hukum perburuhan lebih cenderung berada pada hukum privat atau hukum perdata, yaitu hukum yang megatur hubungan antar warga Negara.

Pelaksanaannya

Pelanggaran terhadap norma hukum pidana pada umumnya segera  diambil tindakan oleh pengadilan  tidak harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Setelah terjadi pelanggaran hukum pidana, maka alat – alat perlengkapan Negara seperti Polisi, Jaksa dan Hakim segera bertindak. Sedangkan korban  ataupun orang yang melihat adanya tindak pidana cukup melaporkan saja kepada pihak yang berwajib (polisi) tentang  tindak pidana yang terjadi. Pihak yang melaporkan (yang dirugikan) menjadi saksi dalam perkara itu, yang menjadi penggugat   adalah penuntut umum (jaksa). Jadi kepentingan korban sudah dilakukan oleh Negara yang dijalankan oleh Jaksa penuntut umum.

Sedangkan pelaksanaan terhadap norma hukum perdata baru diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan pihak  yang merasa dirugikan dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan. Negara tidak akan melakukan tindakan apapun jika warga Negara yang merasa dirugikan kepentingannya tidak mengajukan gugatan yang disampaikan melalui lembaga Pengadilan.

Konsekuensi sebagai Hukum Perdata

Cerita yang disampaikan dalam Pengantar di atas, sebenarnya memperlihatkan kesadaran masyarakat akan kekuatan hukum dari sebuah perjanjian (hitam di atas putih). Dimana si Pembicara mempertanyakan tentang landasan hukum (hitam di atas putih). Jika mungkin cerita di atas kalimatnya di panjangkan menjadi “ sudah ada hitam di atas putih belum, kok kamu sudah menyerahkan rumah itu untuk di tempati oleh si Badu?”   pada peristiwa ini Penanya memastikan bahwa tindakan si lawan bicara sudah dilindungi oleh hukum. Sedangkan pada kaimat berikutnya “wah kalau sudah ada hitam di atas putih, repot, mesti dirundingkan kembali” Pada kalimat ini memperlihatkan bahwa jika telah terjadi kesepakatan (hitam di atas putih) orang tidak mudah/tidak boleh sembarangan merubah-rubah kesepakatan.

Sedangkan pada contoh kedua, anggota tidak menyadari bahwa meskipun dia seorang anggota serikat pekerja/serikat buruh, dia adalah juga warga negara yang hak keperdataanya masih melekat padanya,  tidak bisa diambil alih begitu saja oleh serikat pekerja/serikat buruh. Hak keperdataan yang dimaksud adalah hak untuk menentukan cara penyelesaian yang diinginkan oleh yang bersangkutan dalam masalah yang berhubungan dengan perusahaan (majikan).

Cerita di atas  adalah merupakan konsekwensi dari ketentuan pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).  Pasal 1338 menyatakan semua persetujuan yang dibuat secara syah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.  Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat  ditarikselain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan patut.

Pasal tersebut jika dikaitkan dengan cerita di  atas, pada contoh kalimat pertama dan kedua, pembicara mengetahui bahwa kesepakatan adalah merupakan hukum tertinggi bagi para pihak, dan tidak bisa sembarangan diubah tanpa kesepakatan para pihak yang membuat kesepakatan. Tentu saja dengan pengecualian sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang. Sedangkan pada contoh kedua, serikat pekerja/serikat buruh tidak bisa begitu saja mengambil alih perkara yang dihadapi oleh anggotanya tanpa persetujuan dari anggota, karena sesuai dengan ketentuan pasal 1338 KUHPer dalam hal ini yang paling berhak memutuskan untuk adanya pengakhiran kesepakatan adalah si anggota yang bersangkutan. Jika serikat pekerja/serikat buruh bertindak tidak atas persetujuan dari anggota yang bersangkutan maka apa yang dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh tersebut dapat dibatalkan/ditolak oleh anggota yang bersangkutan, karena serikat pekerja/serikat buruh bukanlah pihak dalam kesepakatan antara anggota yang berangkutan dengan majikannya (khususnya dalam kasus PHK,meskipun sudah ada kesepakatan bersama/PKB).

Penutup

Mengingat bahwa hubungan industrial adalah hubungan keperdataan, maka sudah seharusnya pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh lebih teliti ketika akan mambuat kesepakatan-kesepakatan/perjanjian. Sangat perlu untuk memperhatikan konsekwensi yang akan timbul atas kesepakatan/perjanjian-perjanjian yang dibuat.

Sebagai pekerja/buruh jika telah menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, jangan pernah mengambil keputusan yang terkait dengan masalah hubungan kerja tanpa berknsultasi dengan serikat pekerja/serikat buruhnya.

Demikianpun dalam kehidupan keseharian jangan pernah membuat kesepakatan/perjanjian yang tidak dipahami betul maksud dan tujuannya. Karena kekeliruan dalam membuat perjanjian/  tindakan gegabah dalam membuat perjanjian/ kesepakatan dapat menghilangkan hak-hak Anda sebagai pekerja/buruh atau bahkan bisa kehilangan harta yang paling berharga, atau menjadi masalah berat dikemudian hari.