PEMERINTAH, DPR RI DAN MAHKAMAH KONSITUSI TIDAK PUNYA ETIKA BERBANGSA

by -122 Views

KEPTV News,- Jakarta – Dengan terbentuknya UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law, dan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 tentang Uji Formil terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020, jelas menunjukkan bahwa Pemerintah, DPR RI dan Mahkamah Konstitusi tidak punya etika berbangsa sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR RI No. VI Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

MELANGGAR ETIKA POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Pemerintah dan DPR RI telah tidak menjalankan Etika Politik dan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Bab II angka 2 TAP MPR RI No. VI Tahun 2001. Terbukti Pemerintah dan DPR RI tidak menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja sebagaimana dinyatakan dalam Putusan MK;

Pemerintah dan DPR RI juga tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa sebagaimana tercermin dalam Bab Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja;

Pemerintah dan DPR RI dalam memenuhi pelayanan kepada publik, tidak memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik sebagaimana tercermin dalam soal Ketenagalistrikan dalam UU Cipta Kerja yang nyata-nyata melanggar Putusan MK terdahulu mengenai ketenagalistrikan.

Dengan tetap memberlakukan peraturan-peraturan turunan dari UU Cipta Kerja yang jelas telah dinyatakan Inkonstitusional (bersyarat) oleh Putusan MK, maka Pemerintah telah melakukan tindak manipulatif terhadap rakyat.

MELANGGAR ETIKA PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN

Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Bab II angka 4 TAP MPR RI No. VI Tahun 2001antara lain adalah agar keseluruhan aturan hukum dapat menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.

Ternyata UU Cipta Kerja berdasarkan Putusan MK terbukti tidak memberikan kepastian hukum dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sedangkan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 justru malah menimbulkan kekacauan hukum dengan Putusan yang ambigu. Pada satu sisi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional (bersyarat) dan harus diperbaiki paling lambat 2 tahun. Tapi pada sisi lain, UU Cipta Kerja yang inkonstitusional itu dinyatakan masih tetap berlaku sebelum ada perbaikan. Sudah pasti putusan MK ini menimbulkan kekacauan hukum di masyarakat.

Putusan MK tersebut menunjukkan bahwa MK sebagai lembaga yudikatif yang bertugas mengawal UUD 1945 telah menjadi alat kekuasaan dengan mengaburkan hukum.

Etika penegakan hukum semakin diabaikan oleh DPR dan Pemerintah dengan membentuk UU Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan memaksakan terakomodasinya metode Omnibus Law dalam pembentukan perundang-undangan tanpa melalui keterlibatan partisipasi masyarakat.

HARUSNYA MUNDUR

Dari uraian di atas, sudah dapat dibuktikan bahwa Pemerintah, DPR RI dan NKRI telah tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara. Karena produk hukum yang dihasilkan jelas menunjukkan tidak bertujuan untuk melindungi, memajukan kesejahteraan dan penegakan keadilan sosial bagi segenap bangsa Indonesia sebagaimana amanat alinea keempat Mukadimah UUD 1945.
Oleh karenanya, menurut TAP MPR RI No. VI Tahun 2001 pejabat negara tersebut harus mundur dari jabatannya.

Jakarta, 7 Juli 2022
Indra Munaswar
Ketua Umum FSPI
Presidium GEKANAS