KEPTV NEWS, SPKEP-SPSI.ORG, YOGYA – Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP KEP SPSI) mengggelar musyawarah nasional (Munas) VIII di Hotel Inna Garuda, Kota Yogyakarta, Senin (30/5/2022).
Munas para serikat pekerja tersebut rencananya akan digelar hingga Rabu (1/6/2022) esok.
Sejumlah tokoh penting dari kalangan serikat pekerja turut hadir dalam Munas yang dihadiri lebih dari 400 anggota serikat pekerja dari seluruh tanah air.
Di antaranya presiden KSPI Said Iqbal, Ketua Umum PP FSP KEP SPSI R Abdullah, serta Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea.
Hadir pula perwakilan dari Kementerian Ketenagakerjaan RI, serta dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY.
Mereka berdiskusi membahas permasalahan kesejahteraan para pekerja serta hak-hak sosial, kesehatan, pendidikan dan terkait kemanusiaan lainnya.
“SP KEP SPSI setia pada garis perjuangan. Jangan pernah mundur membela kebenaran, apapun risikonya kita ambil. SPSI siap mengawal,” kata Gani saat membuka Munas VIII Senin sore.
Seusai menbuka musyawarah, Gani menegaskan ada sejumlah persoalan elementer yang tak kunjung terselesaikan atas disahkannya RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
Menurut Gani dengan disahkannya RUU PPP akan berdampak luas terhadap pekerja maupun UU Ciptakerja itu sendiri.
“Secara konsisten kami menolak Undang-undang Ciptakerja. Dan tuntutan kami terhadap pemerintah, mengeluarkan klaster pekerja dari Omnibus Law. Kami tidak menolak investasi masuk ke Indonesia, tetapi kami minta klaster pekerja dikeluarkan dari Omnibus Law,” ungkapnya.
Secara prinsip para serikat pekerja tidak menolak Omnibus Law secara keseluran.
Para pekerja yang berserikat sejauh ini hanya menolak adanya klaster pekerja.
Untuk itu sepulang dari Munas VIII nanti, mereka akan membentuk tim hukum untuk menuntaskan persoalan pengesahan RUU PPP yang diklaim oleh para buruh cacat formil.
“Setelah dari Jogja kami akan rapat menyiapkan tim hukum. Pasti ada langkah aksi. Konsolidasi para pemimpin gerakan buruh Indonesia pasti,” ujarnya.
Langkah semacam itu ditempuh sebab dalam pembahasan revisi RUU PPP para legislator menghilangkan partisipasi publik.
“Intinya kami tegaskan kaum pekerja meminta klaster pekerja dikeluarkan dari Omnibus. Karena klaster ketenagakerjaan cacat formil,” jelas dia.
Isu lain yang santer terdengar dari kalangan pekerja yakni terkait Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi pekerja yang bergaji di bawah Rp3,5 juta.
Gani optimis pemerintah akan mengeluarkan secepatnya bantuan upah tersebut.
“Pemerintah sudah berjanji. Saya harap itu dilaksanakan. Saya pastikan tidak ada PHP, desakan ke pemerintah harus dilaksanakan ada atau tidak,” terang Andi Gani.
Ketua Umum PP FSP KEP SPSI R Abdullah pun senada dengan Andi Gani, namun terkait dengan BSU, Abdullah menilai sebetulnya itu adalah kebijakan yang populis.
Namun sayangnya hal itu menurutnya tidak menyentuh hajat hidup para pekerja secara menyeluruh.
“Itu kebijakan yang populis, akan tetapi kita tahu bahwa ketetapan upah minimum dua tahun terakhir sesuai UU Ciptakerja dan turunannya, mohon maaf, kurang pro dengan kaum pekerja,” ungkapnya.
Abdullah memprediksikan kabupaten/kota yang menjadi pusat industri dalam empat tahun ke depan dimungkinkan tidak akan mengalami kenaikan upah.
“Contoh di Bekasi kota industri terbesar di Indonesia, dua, tiga, empat tahun ke depan sesuai UU Ciptakerja dan peraturan pelaksanaannya baik PP 36 maupun yang lain dimungkinkan tidak ada naik,” pungkasnya. (sumber : https://jogja.tribunnews.com/)