“KADO PAHIT” JHT MENAKER DI BULAN HARI PEKERJA INDONESIA?

by -129 Views

“KADO PAHIT” JHT MENAKER DI BULAN HARI PEKERJA INDONESIA?

OlehAri LazuardiDirektur LBHN PP SP KEP SPSI

OPINI – Pada awal Februari sebagai Bulan peringatan Hari Pekerja Indonesia, Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan Peraturan Menaker No 2 tahun 2022 tentang Tata cara dan persyaratan pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (Permenaker JHT 2022) yang  salah satu Ketentuannya menyatakan bahwa manfaat JHT baru dapat diterima saat peserta mencapai usia 56 (lima Puluh enam) tahun.

Sontak setelah  diterbitkan banyak kalangan menolak keberlakuan Permenaker tersebut, namun bagi pemerintah dan anggota DPR yang  mendukung Permenaker ini  mengatakan mencairkan JHT saat sebelum usia pensiun atau sebelum mencapai 56 tahun  melanggar UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN (UU SJSN), disamping itu pekerja/buruh dianggap tidak perlu khawatir jika di PHK karena ada program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) saat ini.

Permenaker JHT 2022 merupakan Peraturan yang mencabut keberlakuan Permenaker No. 19 tahun 2015 yang saat itu dilahirkan tidak lebih dari 7 x 24 Jam setelah PP No 60 tahun 2015 tentang Perubahan PP 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT diundangkan.

Saat itu, pada awal kepimpinan Presiden Joko Widodo periode Pertama, PP 46/2015 banyak ditolak karena manfaat JHT yang terkena PHK baru bisa diambil saat mencapai usia 56 tahun, berdasarkan aspirasi rakyat dan perintah Pak Presiden, maka tidak sampai 2 bulan kemudian, lahirlah PP 60/2015 dan Permenaker 19/2015 yang menghilangkan ketentuan manfaat JHT baru dapat diambil saat mencapai usia 56 tahun.

ini contoh beberapa link beritanya pada tahun 2015 silam:

https://finance.detik.com/moneter/d-2960026/jokowi-pastikan-pekerja-kena-phk-bisa-cairkan-jht

https://www.republika.co.id/berita/nqx76h/jokowi-minta-pp-jht-direvisi

https://nasional.kompas.com/read/2015/08/21/05150091/Aturan.Baru.PP.Jaminan.Hari.Tua.Mulai.Berlaku.1.September?page=all

https://www.merdeka.com/peristiwa/banyak-diprotes-skema-pencairan-jht-diminta-jokowi-buat-diubah.html

https://www.hukumonline.com/berita/a/inilah-poin-poin-perubahan-pp-program-jht-lt55d676b7dc614

Tabel perubahan PP JHT:

PP JHT No 46 tahun 2015PP JHT No 60 tahun 2015
(Perubahan khusus Pasal 26)
Pasal 26
(1)   Manfaat JHT wajib dibayarkan kepada Peserta apabila:
a     Peserta mencapai usia pensiun;
b     Peserta mengalami cacat total tetap;
c      Peserta meninggal dunia; atau
d     Peserta meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
(2)   Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun diberikan kepada Peserta pada saat memasuki usia pensiun.
(3)   Manfaat JHT bagi Peserta yang dikenai pemutusan hubungan kerja atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun, dibayarkan pada saat Peserta mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.
(4)   Dalam hal Peserta mengalami cacat total tetap, hak atas manfaat JHT diberikan kepada Peserta.
(5)   Dalam hal Peserta meninggal dunia sebelum mencapai usia pensiun, hak atas manfaat JHT diberikan kepada ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2).
Dalam hal Peserta tenaga kerja asing atau warga negara Indonesia meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, manfaat JHT diberikan kepada Peserta yang bersangkutan.
Pasal 26
(1)   Manfaat JHT wajib dibayarkan kepada Peserta apabila:
a     Peserta mencapai usia pensiun;
b     Peserta mengalami cacat total tetap; atau
c      Peserta meninggal dunia.
(2)   Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Peserta.
(3)   Manfaat JHT bagi Peserta yang mengalami cacat total tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada Peserta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)   Manfaat JHT bagi Peserta yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sebelum mencapai usia pensiun diberikan kepada ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2).
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagi pemerintah, anggota DPR atau pihak-pihak yang setuju, Permenaker JHT 2022 dianggap tepat untuk untuk mengembalikan filosofis program JHT yang saat ini telah ada bantalan perlindungan sosial lainnya seperti Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Serta alasan setuju lainnya yang mengemuka yakni jika Manfaat JHT dimbil saat setelah PHK akan melanggar UU SJSN itu sendiri.

Dari  berbagai alasan tersebut, penulis mencoba memberikan pandangan. Pertama,  dari aspek filosofis untuk mengembalikan gagasan program JHT agar dapat dinikmati dihari tua dan telah ada perlindungan sosial lainnya.

Patut kiranya kita ingat, program JHT BPJS Ketenagakerjaan sesungguhnya serupa dengan Program penyelenggara sebelumnya yakni PT. Jamsostek yang telah berjalan sebelum lahirnya UU SJSN. Saat itu manfaat JHT dapat dicairkan setelah mencapai usia 5 tahun kepesertaan dan masa tunggu 1 bulan.

Program Jaminan Hari Tua merupakan program yang membayarkan uang tunai secara sekaligus sebelum seorang peserta memasuki masa pensiun. Pemberian uang tunai lump-sum ini dimaksudkan untuk membekali peserta dengan uang tunai dalam memasuki usia pensiun yang dapat digunakan untuk membeli rumah atau modal untuk berusaha. Apabila peserta meninggal dunia sebelum memasuki masa pensiun, maka manfaat program dibayarkan kepada janda/duda, anak atau ahli waris peserta yang sah (Naskah Akademis RUU SJSN).

Perlindungan Sosial selama Proses dan setelah PHK.

PHK bukan hanya berdampak secara ekonomis-finansial bagi pekerja dan keluarganya tetapi juga aspek sosial, apalagi jika PHK terjadi secara besar-besaran (Ari Hermawan; 2018), bahkan secara historis, peraturan perundang-undangan kita pernah menyatakan bahwa PHK merupakan  awal dari masa penggangguran dengan segala akibatnya (Penjelasan UU 12/1964).

Oleh karena itu jika PHK harus terjadi maka berbagai perlindungan sosial perlu diberikan kepada warga negara (Pekerja) termasuk selama proses perselisihan PHK itu sendiri.

Pelaksanaan Jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan sosial yang dilakukan oleh negara untuk memenuhi kebutuhan dasar tiap warga negaranya sebagaimana kewajiban negara yang dituangkan dalam Pasal 28H ayat (3) dan 34 ayat (2) UUD 1945.

Secara regulatif perlindungan sosial baik selama proses PHK, atau setelah PHK terjadi telah dicoba gagas oleh negara. Diantaranya program JKP dan manfaat jaminan kesehatan Pasca PHK. Selain itu selama proses perselisihan PHK di Pengadilan Hubungan Industrial, Para Pihak (pekerja dan Pemberi Kerja) harus tetap menjalankan kewajibannya hingga perkara berkekuatan hukum tetap.

Maknanya jika terdapat tindakan pemberi kerja yang melarang pekerja untuk tetap bekerja selama perselisihan, maka pemberi kerja wajib membayarkan upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja termasuk iuran BPJS (lazim diistilahkan upah proses). Hal ini lah yang diatur dalam Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

Sekilas tidak ada yang keliru dari berbagai regulasi dan program tersebut, namun tepatkah program tersebut sehingga mengubah manfaat JKP 56 tahun?

A. JKP Pengganti JHT ketika PHK?

Program JKP yang lahir berdasarkan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang  ditegaskan kemudian dalam PP No 37 tahun 2021 (PP JKP) dan Permenaker No 15 tahun 2021 (Permen JKP) dianggap pemerintah dapat menggantikan program JHT untuk tidak dicairkan manfaatnya setelah PHK terjadi  melainkan ditunggu hingga usia 56 tahun.

Barangkali salah satu pembenar bagi pemerintah membuat kebijakan manfaat JHT baru dapat diambil saat memasuki usia 56 tahun karena semakin banyak pekerja usia muda yang mencairkan manfaat JHT yang dikhwatirkan pekerja tersebut tidak mendapatkan manfaat JHT yang cukup saat usia tua.

BPJS Ketenagakerjaan mencatat pada tahun 2020 75.7% alasan mencairkan manfaat JHT karena mengundurkan diri dan hanya 19,15% karena alasan PHK (Policy Brief DJSN, Februari 2022). Bagi penulis, data tersebut tentu bukanlah harus semata dibantah, Namun justru data tersebut perlu dielaborasi lebih jauh, mengapa hal itu (pencairan manfaat JHT terjadi dengan alasan pengunduran diri) dengan kepesertaan pendek yang tentu nilai manfaatnya belum besar. Disamping perlu dicermati juga, PHK alasan pengunduran diri itu sendiri yang bisa jadi bukan karena kehendak pekerja secara mutlak melainkan terdapat kondisi yang menyebabkan hal itu terjadi.

Secara regulatif, program JKP sejak februari tahun 2022 dapat mulai berjalan. Namun perlu diketahui, manfaat JKP menurut PP JKP dan Permen JKP dapat diberikan dengan syarat dan kondisi tertentu, diantaranya:

  1. JKP diberikan maksimal 3 kali selama usia kerja, dengan kualifikasi manfaat JKP kedua dan ketiga setidaknya harus memenuhi masa iur 5 tahun (Pasal 29 Permenaker 15/2021)

syarat ini menjadikan pekerja PKWT yang tidak memenuhi syarat kerja 5 tahun tidak mendapatkan JKP nantinya

  • JKP hanya diberikan maksimal 6 bulan dengan rincian 3 bulan pertama 45% dan 3 Bulan kedua 25 % dari batas upah atas yang dapat diperhitungkan senilai 5 juta.

Dengan demikian jika upah yang dilaporkan senilai 5 juta, maka 3 bulan pertama mendapatkan Rp. 2.250.000,- adan 3 bulan berikutnya senilai Rp. 1.250.000,-. Sedangkan jika upah yang dilaporkan Rp. 2.000.000,- maka 3 bulan pertama pekerja akan mendapatkan Rp.900.000,- dan untuk 3 bulan berikutnya Rp. 450.000,- (Pasal 4 Permenaker 15/2021)

  • Pemberian manfaat uang tunai bulan kedua sampai dengan bulan keenam dibayarkan dengan ketentuan: (Pasal 13 Permenaker 15/2021)
    • Penerima Manfaat belum mendapatkan pekerjaan kembali dan aktif mencari kerja; dan/atau
    • memenuhi presensi Pelatihan Kerja pada bulan sebelumnya paling sedikit 80% (delapan puluh persen) kehadiran bagi Penerima Manfaat yang mengambil manfaat Pelatihan Kerja
  • Selain uang tunai, manfaat JKP juga berupa akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja. (Pasal 2 Permenaker 15/2021)

Bagi penulis, jikalau tidak ada program JKP, akses informasi pasar kerja dan pelatihan Kerja sudah menjadi kewajiban negara untuk memberdayakan warganegaranya.

  • Manfaat JKP diberikan jika Peserta juga mengikuti Program BPJS lainnya yakni Jaminan Kesehatan Nasional, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan jaminan Kematian.

Khusus Usaha Mikro dan Kecil tidak harus mengiktui program Jaminan Pensiun. (Pasal 4 ayat (3) PP 37/2021)

Jadi kalau tidak mengikuti program jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan lainnya, maka manfaat JKP tidak dapat diberikan.

Sebagai catatan pada tahun 2020 program  JKK dan JKM terdapat 29.980.082 peserta, program JHT 36.520.623 peserta, program pensiun 16.445.532  Peserta (Laporan Pengelolaan program tahun 2020 BPJS Ketenagakerjaan).

walaupun program JHT mencatat kepesertaan terbanyak, namun berdasarkan data BPS Agustus 2021 jumlah kepesertaan tersebut masih jauh dari jumlah Penduduk yang bekerja sebanyak 131,05 juta orang dengan pembagian penduduk yang bekerja di kegiatan informal sebanyak 59,45% atau 77,91 juta orang dan yang bekerja formal sebanyak 40, 44 % atau 53,14 juta orang (BPS, 2021).

  • Manfaat JKP tidak diberikan terhadap pekerja PKWTT dengan alasan PHK mengundurkan diri dan jika PHK PKWT karena kontrak berakhir. (Pasal 20 PP 37/2021)

Ketentuan ini tentu dapat menjadi penghambat penerima manfaat JKP jika dibenturkan dengan data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2020 mengenai alasan PHK mengundurkan diri menjadi yang terbanyak untuk mencairkan JHT.

Terlebih terkadang ditemukan kasus PHK mengundurkan diri bukan serta merta secara sukarela pekerja melakukan itu, melainkan terdapat latar belakang lain yang pada akhirnya menjadikan pilihan mengundurkan diri itu dilakukan. Misalnya pekerja dibuat tidak nyaan dengan beban kerjaan maupun kondisi kerja dengan cara mutasi dan lain sebagainya.

  • Peserta JKP telah memiliki masa iur paling sedikit 12 (dua belas) bulan dalam 24 (dua puluh empat) bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 (enam) bulan berturut-turut sebelum terjadi PHK. (Pasal 8 Permenaker 15/2021)

Hal ini lah yang seringkali terjadi dan bukan kesalahan pekerja manakala pemberi kerja lalai ataupun abai dalam melakukan penyetoran iuran program BPJS. Meskipun demikian terdapat hal yang patut diparesiasi bahwa regulasi JHT ini memberikan kesempatan bagi pemberi kerja untuk membayarkan terlebih dahulu manfaat uang tunai kepada peserta JKP yang kemudian dapat mengajukan penggantian kepada BPJS Ketenagakerjaan.

  • Sengketa penyelenggaran JKP diatur menjadi sengketa perdata umum dan sanksi adminstratif. (Pasal 45 PP 37/2021)

Terhadap aturan yang sifatnya menjadi suatu kewajiban untuk dilaksanakan, terkesan menjadi setengah hati penerapannya jika sanksi yang diterapkan hanya bersifat administratif dan justru dibuka keran sengketa keperdataan, bukan berhenti pada penegakan hukum oleh pengawas ketenagakerjaan, yang akan memakan waktu penyelesaian lama dengan pembiayaan yang bisa jadi berpotensi jauh lebih besar dari manfaat JKP itu sendiri.

Dari sekelumit syarat dan ketentuan yang ada tersebut guna mendapatkan manfaat JKP, penulis menilai gagasan JKP sesungguhnya baik bagi perlindungan sosial pekerja ter PHK, namun syarat dan kondisi serta manfaat JKP dinilai belum cukup untuk dapat dikatakan sebagai pengganti sepadan manfaat JHT untuk tidak dicairkan segera.

Pemaknaan belum cukup layak ini tentu mengacu pada nilai yang diberikan yang tentu berasa dari iuran seadanya yang hanya merupakan rekomposisi program JKK dan JKM serta tambahan dari negara. Dengan model iuran seperti itu justu menjadi akar masalah sesungguhnya yang seakan mengarahkan pada kesimpulan program JKP ini program setengah hati dan rawan tidak berkelanjutan.

Kajian yang diterbitkan International Labour Organization (ILO) kiranya dapat menjadi referensi. Menggunakan istilah tunjangan pengangguran, dikatakan skema tunjangan pengangguran dapat mencapai potensinya hanya jika dibiayai dengan tepat, baik dari iuran atau, setidaknya sebagian, dari perpajakan umum. Jika pembiayaan tidak mencukupi, tidak tepat waktu atau dirancang dengan buruk, pembatasan tunjangan dapat berdampak buruk, yang dapat menghalangi pemulihan ekonomi dan menghantarkan pada peningkatan kemiskinan dan kerentanan yang pesat. (Michel Bedard, dkk; ILO 2020)

Lebih lanjut, kajian ILO juga menunjukan pemberian manfaat JKP, disitilahkan tunjangan pengangguran, selain nilainya cukup layak, durasi yang diberikan juga tidak disamakan, tergantung pada usia pekerja, semakin rentan dan sulit mencari pekerjaan, maka durasi pemberian manfaat JKP nya lebih lama.

Sebagai contoh di Korea Selatan tunjangan pengangguran diberikan 90 hingga 180 hari jika berusia di bawah 30 tahun, 90 hingga 210 hari berusia antara 31 dan 50 tahun, dan 90 hingga 240 hari jika berusia di atas 51 tahun atau penyandang disabilitas. Lebih lanjut tunjangan dapat diperpanjang untuk 60 hari tambahan bagi mereka yang kehabisan tunjangan, dengan kriteria yang ketat (Michel Bedard, John Carter, dkk ILO: 2020).

B. Pesangon dan Kompensasi PKWT membenarkan JHT 56 tahun?

Mengacu pada naskah akademik RUU SJSN, barangkali salah satu program jaminan sosial yang dimaksudkan telah diatur melalui UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah pemberian uang kompensasi PHK yang terdiri dari uang Pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak (jamak diistilahkan Pesangon untuk PKWTT) dan kemudian UU Cipta Kerja menambah regulasi kompensasi PHK untuk PKWT.

Didalam naskah akademis tersebut, secara redaksional diistilahkan dengan jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK) yang kemudian didalam naskah akademis RUU SJSN tersebut dinyatakan tidak dimasukan kedalam RUU SJSN karena telah terdapat aturan serupa didalam UU Ketenagakerjaan. Namun demikian gagasan JPHK tersebut nampaknya serupa dan dihidupkan dalam UU Cipta Kerja dalam JPK.

Selanjutnya terkait PKWT, UU Cipta Kerja dan PP 35 tahun 2021 mengamanatkan adanya pemberian kompensasi PKWT yang diberikan setelah masa kerja PKWT berakhir. Baik pesangon maupun kompensasi PKWT tersebut, disamping JKP yang akan mulai berlaku bulan februari 2022, menjadi salah satu alasan yang mengemuka di berbagai media bagi pihak yang mendukung mengapa JHT baru dapat dicairkan nantinya saat pekerja berusia 56 tahun.

Terhadap hal ini, penulis perlu sampaikan bahwa Pesangon dan Kompensasi PHK PKWT bukanlah suatu model yang dapat dikategorikan sebagai jaminan sosial karena pesangon dan kompensasi PHK PKWT tidak terdapat manfaat kepastian jumlah, nilai, dan waktu pemberian.

Sebagai contoh megenai alasan PHK yang kemudian ditambahkan lebih banyak oleh PP 35/2021 berbeda-beda nilai pesangon yang diberikan. Itu pun masih dapat diperselisihkan alasan maupun jumlah pesangonnya. Secara umum pemberi kerja menginginkan alasan PHK yang berkonsekuensi pada pembayaran pesangon lebih kecil atau bahkan tidak ada. Misal alasan PHK mangkir. Walaupun UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konsitutsi memberikan  penegasan bahwa tidak dibayarkannya pesangon berkonsekuensi pidana.

Bahkan hingga perkara berkekuatan hukum tetap, praktek yang ditemukan bisa saja pemberi kerja tidak mau (tidak mampu) membayar sejumlah putusan hingga akhirnya melewati proses eksekusi paksa yang bergantung pada apakah ada cukup aset yang dapat disita eksekusikan.

Hal tersebut terjadi karena dari awal uang pesangon memang tidak didesain untuk dapat diberikan manfaat pasti karena tidak terdapat iuran wajib yang disetorkan oleh para pihak setiap bulannya.

Kedua, dari aspek hukum yang mengatakan Permenaker JHT 2022 diterbitkan karena telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada kiranya perlu melihat kembali kebelakang bahwa selama 7 tahun berjalannya PP 60/2015 yang diteken oleh Presiden dengan pengambilan JHT tidak menunggu peserta mencapai usia 56 tahun, apakah hendak dikatakan Presiden dan mantan Menaker sebelumnya melanggar hukum selama ini?

Perlu diketahui bahwa Pasal 35 dan 37 UU SJSN memang tidak mengatur secara tegas konsep manfaat JHT hanya dapat diambil saat usia 56 tahun, Pasal UU SJSN hanya menyatakan manfaat JHT menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.

Hemat penulis, apa yang dilakukan Presiden tahun 2015 dengan mengubah Pasal 26 ayat (3) PP 46/2015 melalui PP 60/2015 khususnya frase “dibayarkan pada saat Peserta mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun” merupakan formula yang secara tegas ingin mengatakan pencapaian usia 56 tahun itu tidak diperlukan untuk menjadi batas minimal pencairan JHT.

Sehingga tepatlah kemudian Permenaker 19/2015 menindaklanjuti konsep pemanfaatan JHT dapat dilakukan setelah terjadinya PHK dengan masa tunggu 1 (bulan) selain tentunya manfaat JHT dapat diambil saat pekerja memasuki usia pensiun, dan cacat tetap. Jadi Permenaker 19/2015 bukan melahirkan norma baru mengenai manfaat JHT setelah PHK. Justru Permenaker 2/2022 yang melahirkan norma baru “56 tahun” tersebut.

Lahirnya norma baru dalam Permenaker 2/2022 yang menuangkan norma 56 tahun tersebut bertentangan dengan konsep yang terkandung dalam Pasal 8 UU No 12/2011 jo UU No 15/2015 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan Peraturan Menteri didasarkan pada materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.

Pertentangan hukum lainnya juga mengenai pihak peserta JHT yang melalui Permenaker 2/2022 untuk mengikuti pemberian manfaat JHT baru dapat dilakukan saat mencapai usia 56 tahun. Hal ini menurut penulis tidak dapat diterapkan terhadap peserta yang telah menjadi peserta sebelum permenaker 2/2022 diberlakukan, kecuali atas kehendak sadar  peserta tersebut.

sebagaimana dipahami bersama, peserta yang telah lama mendaftar program JHT BPJS Ketenagakerjaan  secara sadar dan mau mengikuti program tersebut mengetahui bagaimana syarat dan kondisi manfaat JHT bisa diambil saat mendaftar kepesertaan (bukan saat mencapai usia 56 tahun). Jadi kalaupun permenaker 2/2022 tidak dicabut, maka keberlakuan hukum permenaker tersebut lebih tepat dilakukan terhadap peserta JHT baru setelah permenaker diundangkan.

Selain itu, patut kiranya diduga bahwa Permenaker 2/2022 khusus mengenai manfaat JHT 56 tahun jika disandarkan dengan program JPK yang dibentuk melalui UU Cipta Kerja maka sesungguhnya secara tidak langsung kebijakan manfaat JHT 56 tahun telah melanggar putusan Uji Formil UU Cipta Kerja perkara No. 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2021. Dimana selain secara putusan memerintahkan perbaikan UU tersebut, MK juga menegaskan dalam amar putusan angka 7 (tujuh) untuk menangguhkan segala kebijakan dan tindakan yang bersifat strategis.

Potensi permasalahan Permenaker JHT 2022

Terdapat beberapa catatan potensi permasalahan empiris Permenaker khususnya terhadap manfaat JHT 56 tahun ini, diantaranya:

  1. Waktu berlaku 3 bulan dan momen kebutuhan lebaran 2022 berpotensi banyak peserta mencairkan JHT

Pasal 15 Permenaker 2/2022 memang menangguhkan keberlakuan permen tersebut untuk 3 (bulan) sejak diundangkan. Namun demikian masa keberlakuan tersebut berpotensi untuk digunakan bagi peserta untuk ramai-ramai mencairkan JHT dengan berbagai alasan yang ada, entah kebutuhan ataupun kekhawatiran karena menunggu lama usia 56 tahun baru bisa mencairkan.

  • Mempersulit pemenuhan dasar pekerja ter PHK di usia sulit mencari pekerjaan baru

BPS pada tahun 2021 mencatat masih terdapat 9,1 juta orang dari angkatan kerja yang masih mengganggur, dimana secara karakteristik jumlah penduduk bekerja didominasi dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah dengan jumlah 49,39 juta Orang, 23,28 Juta Orang Pendidikan SMP, 24,72 juta orang berpendidikan SMA, 16,86 berpendidikan SMK. Sementara itu untuk penduduk bekerja dengan tingkat pendidikan universitas hanya sejumlah 13,34 juta orang. Selebihnya berpendidikan Diploma.

Dari data tersebut, patut dipikirkan mengenai usia rawan bagi angkatan kerja yang ter PHK namun sulit mencari pekerjaan baru sedangkan masa tunggu manfaat JHT masih terlalu jauh. JKP yang terbatas, kesulitan mengakses modal dan hilangnya perlindungan sosial tentu akan menimbulkan permasalahan sosial lanjutan.

  • Menghambat upaya mendapatkan modal usaha

Berkaitan dengan pekerja usia rawan yang sulit mencari pekerjaan lagi tersebut, maka pilihan untuk berwiraswasta menjadi rasional dengan menggunakan manfaat JHT yang ada dapat dicairkan sebagai modal usaha. Lebih dari itu, bukankah dewasa ini pemerintah mendorong warganya untuk kreatif menjadi entrepeneur agar semakin banyak lapangan kerja tersedia. Gagasan modal usaha dari manfaat pencairan JHT sesungguhnya termuat juga dalam kajian Naskah Akademis RUU SJSN.

Problem Aspirasi dalam pembentukan Suatu UU

Tak dapat dipungkiri, dengan penolakan yang begitu massif dari banyak pihak, keberadaan permenaker 2/2022 dapat dikatakan ada yang tidak berjalan optimal mengenai penyerapan aspirasi dan partisipasi publik.

Penulis menyoroti setidaknya dari 2 aspek jalur partisipasi publik dari situasi yang ada saat ini. Pertama, partisipasi pembentukan permenaker oleh pemerintah. Penulis mengetahui terdapat dokumen laporan singkat Rapat Dengan Pendapat Umum pada 28 September 2021 antara DPR, Pemerintah, BPJS Ketenagakerjaan, DJSN, dan lembaga terkait serta 2 orang dari pengurus serikat pekerja, dimana salah satu kesimpulan rapat tersebut dalam angka 2 dikatakan Komisi IX DPR RI mendesak pemerintah untuk melakukan harmonisasi manfaat JHT dan jaminan Pensiun. Disamping itu klaim kementerian Keteagakerjaan Permenekar 2/2022 pembentukanya telah dikonsultasikan melalui LKS tripartite Nasional, walaupun beberapa anggota LKS Tripartit Nasional jelas-jelas membantah karena belum pernah ada rekomendasi dan kesepakatan LKS Tripartit nasional soal itu.

Dari dua rangkaian tersebut, apakah dapat dikatakan serap aspirasi dan partitisipasi publik cukup dilakukan dan dianggap telah terjadi?

Mengacu pada panduan partisipasi masyarakat yang terdapat dalam pertimbangan putusan uji formil uu cipta kerja dikatakan bahwa partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Dengan setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas (Putusan 91/PUU-XVIII/2020, Halaman 393)

Bagi penulis, berbagai protes massif yang ada di masyarakat jelas menunjukan 3 prasyarat partisipatif tersebut belum dilakukan secara optimal dalam pembentukan permenaker 2/2022.

Kedua, aspirasi keterwakilan SP dalam lembaga tripartite maupun adhoc lainnya. Sebagaimana diketahui, UU Ketenagakerjaan memberikan beberapa keterlibatan perwkailan pekerja maupun pengusaha dalam pembuatan kebijakan. Diantaranya Dewan Pengupahan, Lembaga Tripartit, Dewan Pengawas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional.

Dari berbagai kesempatan untuk berkecimpung dalam proses pengambilan kebijakan hendaknya segala hal yang berpotensi atau ingin digagas menjadi suatu kebijakan senantiasa dikomunikasikan secara internsif dengan stakeholder dan asal serikat dimana pekerja tersebut diwakilkan sehingga tercipta gagasan bulat mengenai sikap pekerja sedari awal suatu isu itu terjadi.

Hal ini lah yang penulis rasa kurang maksimal dilakukan dan menjadi catatan tersendiri  bagi perwakilan serikat pekerja dalam pembuatan segala kebijakan ketenagakerjaan yang duduk dalam lembaga keterwakilan tersebut atas previlegenya sebagai orang/pihak yang berasal atau dicalonkan atas nama serikat pekerja. hal ini karena suara anggota/organisasi SP yang mengusungnya seharusnya akan menjadi acuan perjuangan wakil serikat di lembaga keterwakilan.

Solusi dan Tawaran

Pilihan untuk melakukan perlawanan terhadap advokasi kebijakan pemerintah dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dilakukan secara konstitusional baik melalui aspek hukum melalui pengadilan maupun pendekatan lainya dapat dilakukan pekerja maupun serikat pekerja.

Misalnya dari aspek perlawanan hukum, melakukan uji materi permenaker 2/2022 melalui Mahkamah Agung. Namun demikian langkah tersebut sebaiknya tidak dahulu dilakukan, lebih baik lakukan pendekatan secara konstitusional kepada pembuat kebijakan ataupun atasan pembuat permenaker.

Tawaran kebijakan JHT yang dapat penulis sampaikan idealnya manfaat JHT diberikan dengan nilai cukup yang berkonsekuensi terhadap masa iur dan nominal iur peserta. Oleh karena itu kalaupun harus direvisi manfaat JHT dapat dicairkan setidaknya dapat mengacu pada periodesasi dahulu saat PT. Jamsostek yakni minimal masa iur 5 (lima) tahun.

Hal ini tentu harus disediakan dan dipastikan dahulu dengan berbagai program perlindungan sosial lainnya yang harus tetap ditingkatkan, misalnya manfaat JKP hingga kepastian mendapatkan pesangon. Manakala perlindungan sosial lainnya telah berjalan baik, tentu tidak ada salahnya manfaat Pencairan JHT dapat kembali diperpanjang. Serta yang tidak kalah penting memastikan uang pekerja ada dan terjamin.

Kesimpulan:

Dalam kondisi dimana perlindungan sosial telah dianggap telah cukup baik, partisipasai pembuatan kebijakan berjalan maksimal, maka manfaat JHT dapat diberikan sebagaimana dengan namanya di “hari tua” menjadi hal yang wajar.

Namun kondisi yang ada saat ini perlindungan sosial secara menyeluruh belum terjadi, masih diragukannya manfaat JKP dan kesinambungannya, pesangon berpotensi diperselisihkan tanpa manfaat pasti, dan kebutuhan serta situasi pandemi yang membuat banyak pekerje Ter PHK, maka konsep manfaat JHT baru dapat dicairkan saat usia 56 tahun tidaklah tepat untuk diterapkan.

Di momen peringatan hari pekerja nasional tiap tanggal 20 februari ini, Penulis berharap Permenaker 2/2022 JHT ini segera dicabut dengan tetap memberlakukan manfaat pengambilan JHT seperti sedia kala. Manakala pekerja ingin mengambilnya setelah PHK yakinlah itu semata digunakan untuk kebutuhan dasar dan jika tidak diambil menunggu sampai 56 tahun itu menjadi pilihan sadar yang biarkan peserta menentukannya.

Sudah banyak berbagai kebijakan pemerintah yang menjadi catatan tersendiri selama pandemi covid-19 ini berlangsung diantaranya kebijakan upah yang disepakati (potensi dibawah upah minimum), THR dicicil, memperbanyak alasan PHK baru dalam PP 35/2021, dan lain-lain. Ambil kembali kado pahit JHT ini dan kembalikan  manfaat JHT seperti sediakala.

Semoga Menaker mau mendenger dan Pak Presiden mau Melakukan perbaiken.

Selamat Hari Pekerja Indonesia! Maju bangsaku, Sejahtera Pekerja Indonesia!

Daftar Referensi

  • BPJS Ketenagakerjaan, Laporan Tahunan Terintegrasi 2020
  • BRS No.84/11/Th. XXIV, 05 November 2021
  • Hernawan, A. (2018). Penyelesaian Sengketa hubungan Industrial. Yogyakarta: UII Press
  • Michel Bedard, John Carter, dan Ippei Tsuruga, 2020, Praktik internasional perlindungan pendapatan bagi penganggur: Implikasi bagi Republik Indonesia, International Labour Organization.
  • Undang-Undang Dasar RI 1945
  • Risalah ILO, Mei 2020, Respons perlindungan sosial terhadap pandemi COVID-19 di negara-negara berkembang
  • UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  • UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  • UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan UU No 12 tahun 2011
  • UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  • PP No 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT
  • PP No 60 tahun 2015 tentang Perubahan PP No 46 tahun 2015
  • Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional
  • Peraturan Menteri Ketenenagakerjaan No 19 tahun 2015
  • Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 2 tahun 2022
  • Surat Edaran Nomor 3 tahun 2015 tentang  pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung tahun 2015 sebagai pedoman pelaksanaan Tugas bagi pengadilan
  • Naskah akademik UU SJSN
  • Laporan Singkat Rapat Komisi IX DPR RI, 28 September 2021