Main Kayu soal Jaminan Hari Tua (JHT) Buruh - Sumber: Jawa Pos, 16 Februari 2022 | Kolom Opini (Hlm. 4) Oleh : Dr. M. Hadi Subhan, SH., MH., CN. Dosen hukum perburuhan dan hukum kepailitan pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Opini – CUKUP mengejutkan Menteri ketenagakerjaan (Menaker) mengeluarkan regulasi yang mengatur soal jaminan hari tua (JHT) yang menentukan bahwa JHT tidak boleh diambil keseluruhan jika usia pekerja belum mencapai 56 tahun. Kecuali yang pensiun, meninggal dunia, dan cacat total tetap. Sehingga buruh atau pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja (mengundurkan diri) sebelum berusia 56 tahun tidak bisa mengambil keseluruhan JHT.
Dan buruh/ pekerja tersebut harus menunggu ketika berusia 56 tahun. Beleid Menaker itu dituangkan dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.
Permenaker JHT ini secara kasatmata telah melanggar ketentuan dalam PP 60/2015 tentang Perubahan PP 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT.
PP 60/2015 tersebut menghapuskan ketentuan yang mengatur bahwa manfaat JHT bagi peserta yang terkena PHK atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun dibayarkan pada saat peserta mencapai usia 56 tahun, yang sebelumnya diatur dalam PP 46/2015. Ketentuan tersebut dihapus karena pada saat itu terjadi gelombang protes atas lahirnya PP 46/2015 yang menentukan hal tersebut. Tetapi, kenapa sekarang dimunculkan lagi oleh Menaker dengan mengeluarkan Permenaker 2/2022 itu?
Kita tidak habis pikir mengapa Menaker mengeluarkan kebijakan yang merugikan buruh/pekerja yang tidak menguntungkan pengusaha. Biasanya regulasi ketenagakerjaan yang dibuat merugikan buruh karena pertimbangan untuk meringankan atau menguntungkan engusaha dengan dalih demi keberlangsungan sektor usaha.
Jadi, untuk kepentingan siapa regulasi JHT tersebut? Karena pengusaha pun tidak diuntungkan oleh peraturan itu. Dengan logika ini, dimungkinkan adanya vested interest (kepentingan tersembunyi) melalui invisible hand (tangan-tangan tersembunyi) dalam mengeluarkan regulasi tersebut.
JHT merupakan iuran Bersama antara buruh/pekerja dan pengusaha. Buruh membayar 2 persen, sedangkan pengusaha membayar 3,7 persen sehingga total menjadi 5,7 persen dari upah yang diterima setiap bulannya. JHT tersebut diibaratkan sebagai tabungan bagi buruh/pekerja untuk persiapan Ketika pensiun. Terutama sebagai dana untuk menyambung kehidupannya pada saat tidak lagi menerima pendapatan rutin dari perusahaan. Biasanya dana JHT itu digunakan untuk memulai karier kedua (second career) sebagai self employment atau digunakan untuk memulai wirausaha.
Bagi pekerja yang bekerja sampai memasuki masa pensiun, yang oleh regulasi ditentukan 56 tahun, menjadi wajar jika JHT tidak bisa diambil kecuali ketika dia pensiun. Hal ini karena buruh/pekerja tersebut masih mendapatkan upah setiap bulannya karena masih bekerja pada perusahaan. Namun, menjadi tidak wajar ketika buruh terkena PHK atau berhenti bekerja (mengundurkan diri).
Sebab, misalnya hendak berwiraswasta, pada saat usianya masih jauh dari usia pensiun, tabungan JHT tersebut tidak dapat dicairkan. Padahal, tabungan JHT itu sangat diperlukan oleh buruh/pekerja untuk menyambung kehidupannya atau untuk berwiraswasta. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari kondisi ketenagakerjaan di Indonesia di mana jumlah lowongan pekerjaan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tenaga kerja yang tersedia. Sehingga tentu tidak mudah ketika pekerja/buruh terkena PHK, kemudian berusaha mencari pekerjaan yang baru. Apalagi Ketika pekerja/buruh itu terkena PHK pada usia paro baya, antara 40 hingga 50 tahun.
Dalih Kemenaker yang menyatakan sekarang sudah ada jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), sehingga buruh/pekerja yang ter-PHK atau berhenti bekerja yang belum berusia 56 tahun tidak bisa mengambil JHT, merupakan dalih yang sekenanya saja. Hal ini karena JKP adalah tanggungan pemerintah yang diambil dari iuran BPJS Ketenagakerjaan yang berasal dari rekomposisi iuran JKK (jaminan kecelakaan kerja) dan JKM (jaminan kematian).
Sedangkan JHT merupakan tabungan sendiri pekerja/buruh bersama pengusaha. Di samping itu, manfaat JKP sangat terbatas sekali. Hanya diterima paling banyak 6 bulan setelah PHK tersebut. Dan itu pun hanya menerima 45 persen upah untuk 3 bulan pertama dan 25 persen upah untuk 3 bulan berikutnya. Mungkin barangkali akan masuk akal jika iuran JHT dan iuran JKP sama-sama ditanggung pemerintah dan sekarang mengeluarkan kebijakan demikian.
JKP yang ditanggung pemerintah tidak sampai usia pensiun, yaitu 56 tahun, tapi hanya maksimal 6 bulan. Sehingga sangat tidak masuk akal ketika JHT buruh/pekerja disandera oleh pemerintah sampai buruh/pekerja berusia 56 tahun tersebut. Alih-alih membantu meringankan kehidupan buruh yang sudah makin terpuruk akibat pandemi, malah pemerintah main kayu dengan ”menyandera” pencairan JHT bagi buruh/pekerja yang ter-PHK atau berhenti bekerja saat usia belum mencapai 56 tahun. Perlu diingat, kekayaan yang dimiliki kebanyakan pekerja/buruh bukanlah kekayaan yang berlebih. Bahkan sebaliknya, serba kekurangan. Sehingga pemaksaan sebagian harta milik pekerja/buruh untuk tetap berada di JHT merupakan tindakan yang sangat tidak bijaksana.
Menaker harus belajar lagi atas kasus lahirnya PP 46/2015 yang saat itu terjadi gelombang penolakan dari buruh/pekerja yang kemudian dengan sikap kenegarawanan dari Presiden Jokowi langsung diubah dengan PP 60/2015. Sebab, Presiden Jokowi memahami situasi ketenagakerjaan saat itu serta aspirasi dari buruh/pekerja. Situasi sekarang, setelah pandemi Covid-19 berlangsung dua tahun, tentu jauh lebih buruk daripada situasi ketenagakerjaan saat itu. Karena pertumbuhan ekonomi yang sempat minus 3 persen pada 2020 serta hanya tumbuh 3,69 persen yang mengakibatkan gelombang PHK yang tidak bisa dihindari. Juga penyerapan tenaga kerja baru yang masih melambat. Sehingga sangat tidak bijak regulasi JHT tersebut.
Meskipun Permenaker 2/2022 telah telanjur diterbitkan, tidak ada salahnya untuk ditinjau Kembali demi kemaslahatan bersama. Terutama buruh/pekerja dan juga negara untuk taat asas terhadap peraturan yang lebih tinggi, yakni PP 60/2015.
Justru dengan meninjau kembali permenaker JHT ini, kewibawaan pemerintah, khususnya Kemenaker, menjadi pulih kembali serta akan menjaga kondusivitas ketenagakerjaan demi memelihara iklim investasi. Mungkin Permenaker 2/2022 akan membawa kemaslahatan pada satu sisi, akan tetapi juga mendatangkan kemudaratan di sisi lain. Jika hal itu terjadi, semestinya dikembalikan pada asas hukum bahwa menghindari kemudaratan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan (dar ul mafasid, muqoddamun ala jalbil masholih). (*)