Sarasehan Nasional GEKANAS “Indonesia Kini dan Nanti”

by -111 Views

Jakarta, bertepatan Hari Pahlawan Nasional, Rabu 10 November 2021 diadakan Sarasehan Nasional SP/SB jilid II yang difasilitasi oleh Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) dengan tema “Indonesia Kini dan Nanti, Mendesak Pembatalan UU Cipta Kerja dan Privatisasi listrik Demi Kepentingan Rakyat”

Sarasehan ini dihadiri oleh berbagai konfederasi maupun Federasi serikat Pekerja serta akademisi dan kalangan aktivis maupun penggiat advokasi masyarakat sipil baik secara luring maupun dengan tetap menerapkan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19 dan daring. Dan yang menjadi Narasumber dalam Sarasehan Nasional GEKANAS Faisal Basri dengan Anthony Budiawan.

Dengan mengusung tema tersebut sejatinya GEKANAS telah memfasilitasi  peserta sarasehan untuk melihat setidaknya 2 (dua) isu krusial bagi pekerja dan rakyat Indonesia saat ini, PERTAMA keberadaan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah sebagian besar ketentuan Krusial dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sebagaimana diketahui bersama, salah satu perlawanan dari gerakan serikat pekerja/Serikat Buruh dan masyarakat sipil lainnya terhadap UU Cipta Kerja  melalui uji konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi. Khusus uji formil mengenai proses pembentukan UU Cipta Kerja, saat ini telah dilalui tahapan Kesimpulan dan menunggu panggilan sidang untuk pengucapan Putusan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam persidangan dan pembuktian yang ada masyarakat dapat menyaksikan bahwa Presiden dan DPR sebagai termohon tidak dapat membantah dengan tegas beberapa pelanggaran proses pembentukan UU Cipta Kerja diantaranya kurangnya melibatkan secara partipatoris stakeholder terkait UU dalam tahap perencanaan dan penyusunan, metode omnibus law dengan memasukan banyak UU yang tidak dikenal dalam rezim UU No 12 tahun 2011 sebagaimana diubah terakhir dalam UU No 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan hingga perubahan naskah UU CIpta Kerja secara substantif mulai dari naskah 905 halaman saat sidang Paripurna DPR RI hingga 1187 halaman yang diundangkan.

Berkaca dari pembuktian yang telah nampak jelas dalam persidangan tersebut, maka sudah sewajarnya Mahkamah Konstitusi memberikan koreksi konstitusional kepada pembuat UU dengan menyatakan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

KEDUA mengenai ketenagalistrikan. Sebagai kebutuhan harian Rakyat dan berpengaruh terhadap seberapa besar pengeluaran rakyat (Pekerja/Buruh), ketersediaan energi (listrik) dengan tarif wajar wajib disediakan oleh Negara melalui BUMN Ketenagalistrikan (PT. PLN (Persero).

Alih-alih menciptakan pasokan listrik dengan jaminan tarif terjangkau bagi pekerja, Negara berupaya untuk melakukan langkah-langkah holdingisasi listrik yang ditengarai bagian dari upaya privatisasi sektor ketenagalistrikan yang secara praktek bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

UUD 1945 telah menggariskan konsep penguasaan energi listrik secara konstitusional sebagaimana dijabarkan dalam Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 jo 111/PUU-XIII/2015 (Putusan MK Ketenagalistrikan). Swasta memang boleh dilibatkan oleh Negara, namun dengan syarat tertentu!

Keberadaan Independent Power Producer (IPP)/Pembangkit listrik swasta contohnya, hanya dapat dilakukan dalam bentuk kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal, dan lain lain dimana keberadaan BUMN Ketenagalistrikan (PT. PLN) haruslah berada dalam posisi menentukan, bukan seperti terjadi saat ini, Negara membeli listrik dari IPP.

Data RUPTL PLN memperlihatkan dari tahun ketahun ketergantungan pasokan listrik non kepemilikan BUMN PT. PLN grup (bersama PT. Indonesia Power dan PT. PJB) kian besar. Merujuk pada RUPTL PLN 2021-2030, dikatakan Kapasitas terpasang pembangkit tahun 2020 sebesar 61,13 GW yang terdiri dari PLN 42,56 GW, Sewa 1,83 GW, dan IPP 16,74 GW. Artinya sekitar 30 % (tiga puluh persen) pasokan listrik kita bergantung dari listrik swasta.

Keberadaan IPP yang diskemakan Take or Pay (TOP) kian menambah beban Negara karena pasokan listrik IPP tersebut dipakai atau tidak, negara (dalam hal ini PT. PLN) harus tetap bayar. Mirisnya, mengutip dari pemberitaan media pada pertengahan oktober 2021 beban puncak tertinggi untuk Jawa Bali hingga pertengahan oktober 2021 hanya mencapai 28.093 MW (28 GW), bahkan beban puncak tahun 2020 mengutip data statistik PLN 2020 hanya berkisar 40.059 MW (40 GW) yang sejatinya cukup hanya dengan menggunakan kapasitas terpasang milik BUMN kita tercinta PT. PLN (Persero).

Berkaitan dengan isu yang diperbincangkan dan pemikiran bersama, peserta Sarasehan SP/SB menyatakan dengan ini sikapnya:

  1. Mendesak Presiden dan DPR RI untuk patuh dan taat menjalankan sumpah jabtan dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945
  2. Meminta MK mengabulkan Uji Konstitusional UU Cipta Kerja karena terbukti melanggar prosedur pembuatan UU
  3. Meminta MK menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum
  4. Mendesak Presiden dan DPR membuat peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan ketenagalistrikan haruslah dikuasai oleh negera sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945
  5. Mendesak Presiden membatalkan Perjanjian kerjasama dengan IPP yang dibuat bertentangan dengan Putusan MK Ketenagalistrikan

Demikian pernyataan sikap ini kami nyatakan, Sejahterakan Rakyat (Pekerja)! taris listrik murah untuk Rakyat!