Perkembangan Sidang pengujian Formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi Ahli Pemerintah, Prof Romli Atmasasmita: UU Cipta Kerja bukan bertentangan dengan UU No 12 tahun 2011 tetapi berbeda Kuasa Hukum GEKANAS: Mendengarkan Keterangan Ahli pemerintah serasa kita jadi Negara Seenaknya, bukan Negara Hukum

Jakarta – CEMWU NEWS – Kamis, 9 September 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan perkara pengujian formil UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh 6 (enam) Pemohon dengan Nomor Perkara 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020, 4, 6/PUU-XIX/2021.
Agenda persidangan kali ini mendengarkan 3 ahli dari Pemerintah yang ditujukan kepada 3 Pemohon yakni Pemohon Perkara 107/PUU-XVIII/2020, 4, 6/PUU-XIX/2021. Dengan demikian Tim Kuasa Perkara 4/PUU-XIX/2021 yang pemohonnya terdiri dari 661 orang tergabung dari GERAKAN KESEJAHTERAAN NASIONAL (GEKANAS) dapat menyaksikan dan secara aktif dapat merespon keterangan ahli yang ada.
Kali ini pemerintah menghadirkan keterangan ahli, Prof Romli Atmasasmita untuk perkara 107/PUU-XVIII/2020, Turro Wongkaren, Ph,D untuk perkara 4/PUU-XIX/2021 , dan DR. Ahmad Redi untuk perkara 6/PUU-XIX/2021.
Prof Romli Atmasasmita, menjelaskan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja merupakan metode baru dan tidak sama persis dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Karena kebutuhan kita bernegara, seperti adanya tumpang tindih aturan maupn ego sektoral maka diperlukan metode baru yang tidak sama dengan UU PPP. Selain itu UU PPP filosofinya, visi, dan misinya berbeda, sehingga tidak bisa dikatakan omnibus UU Cipta Kerja bertentangan dengan UU PPP, namun itu berbeda.
Selain itu dikatakan Memperkirakan kemanfaatan UU Omnibus pasti ada, tidak mungkin tidak ada, namun masalahnya berhasil atau tidak.
Sedangkan ahli Turro Wongkaren menekankan mengenai pentingnya kita memanfaatkan bonus demografi dan jangan sampai menjadi bencana demografi, ahli juga menjelaskan Omnibus Law UU Cipta Kerja membangun ekosistem yang dapat memungkinkan untuk pertumbuhan lebih tinggi, sebagai contoh simplifiksi perizinan.

Ahli ketiga, Ahmad Redi menjelaskan bahwa Omnibus Law sebagai metode sakti yang diperlukan oleh Negara. Ahli yang mengaku terlibat dalam penyusunan dan pembahasan omnibus cipta kerja ini juga menyatakan sistematika pembentukan UU ini tidak mungkin menggunakan sebagaimana diatur dalam lampiran UU PPP, namun asas pembentukannya harus tetap dipatuhi sebagaimana diatur dalam pasal UU PPP. Ahli juga menjelaskan jika harus memiliki kemanfaatan hukum lebih baik dipilih dari kepastian hukum. Lebih dari itu sepanjang tidak ada moral hazard perubahan naskah masih bisa diperbolehkan pasca disahkan dalam paripurna.

Kuasa Hukum GEKANAS Saepul Anwar merespon keterangan ahli yang tersaji dalam persidangan mengatakan, pertama sangat mengecewakan sekali ternyata ahli yang dihadirkan ke kami bukanlah ahli yang berkaitan dengan prosedur pembentukan suatu UU, melainkan ahli ekonomi sehingga bagi kami keteranganya sudah nampak jelas masuk ke perkara materiil, bukan formil.
Padahal esensi uji formil ini adalah untuk menentukan sejauh mana prosedur pembentukan UU Cipta Kerja ini sesuai dengan Pasal 22A UUD 1945 yang kemudian diturunkan dalam UU PPP termasuk juga peraturan perundang-undangan hingga tata tertib dan peraturan DPR mengenai pembentukan suatu undang-undang, lanjutnya.
Jika ahli mengatakan omnibus law ini berbeda dengan UU PPP apalagi akrobatik yang secara ekstensif tidak mengikuti metode yang diatur dalam lampiran UU PPP, maka untuk apa ada frase metode baku yang diatur secara tegas dalam penjelasan UU PPP. Lebih dari itu keterangan ahli hari ini juga secara terang benderang berbeda dengan keterangan ahli pemerintah Prof Satya Arinanto yang menurut kami menyatakan Omnibus Law UU Cipta Kerja selaras dengan UU PPP.
Kuasa hukum GEKANAS lainya Edang Rokhani juga menegaskan agak gawat kalo kita menyepakti simpul pemikiran ahli Ahmad Redi yang menyatakan naskah uu pasca paripurna masih boleh berubah sepanjang tidak ada moral hazard, menurut Endang, mengutip pendapat ahli Prof Zaenak Arifin, UU itu merupakan hal sakral, maka pembentukannya haruslah dengan hati-hati. Menurut Endang, dengan infrastruktur ataupun perangkat yang diberikan untuk membuat suatu UU seperti tenaga administrasi, tenaga ahli, fasilitas rapat hingga pindah hotel yang menggunakan uang rakyar dari konversi APBN yang sebagian berasal dari pajak rakyat patut kiranya pembuat UU bekerja dengan baik dan tidak serampangan dalam membuat suatu UU.
Untuk kesekian kali Pihak DPR tidak hadir dalam persidangan kali ini. Sidang berikutnya diagendakan kami, 23 September 2021 dengan agenda mendengarkan keterangan 3 orang saksi pemerintah. (CN)