Oleh Indrasari Tjandraningsih – Peneliti dan Pengajar Manajemen Hubungan Industrial di Bandung (Dewan Pakar PP FSP KEP SPSI)
Rencana revisi UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memperlihatkan pertentangan yang tajam antara serikat buruh di satu pihak dan pengusaha-pemerintah di pihak lain. Pokok pertentangan terhadap rencana revisi itu adalah tentang perlindungan. Serikat buruh bersatu menolak rencana revisi karena dianggap akan mengurangi aspek perlindungan tenaga kerja. Sebaliknya pengusaha-pemerintah menganggap revisi diperlukan karena terlalu melindungi pekerja.
Kelompok pengusaha melalui APINDO sudah mengajukan pokok-pokok revisi yang menyangkut penyederhanaan proses kenaikan upah minimum, penurunan nilai pesangon yang dianggap terlalu tinggi, hubungan kerja yang lebih fleksibel melalui outsourcing tenaga kerja, prosedur PHK yang disederhanakan, Pokok-pokok revisi tersebut ditolak kelompok buruh karena meskipun sudah diatur dalam UU 13 tahun 2003, proses kenaikan upah minimum sudah diambil alih oleh negara dan menihilkan proses perundingan antara serikat pekerja dan pengusaha, peraturan mengenai pesangon amat jarang dilaksanakan oleh pengusaha, hubungan kerja fleksibel melalui outsourcing dan kontrak serta prosedur PHK penerapannya secara luas melanggar ketentuan UU.
Pertentangan ini merupakan pengulangan situasi yang terjadi pada tahun 2006 dan 2016 ketika rencana revisi UU Ketenagakerjaan mengemuka dan hasilnya revisi dibatalkan. Kali ini amat besar kemungkinannya revisi UU Ketenagakerjaan akan dilakukan mengingat ciri pemerintahan presiden Jokowi yang amat pro investasi dan bersifat eksekutor.
Pertentangan antara serikat buruh dan pengusaha/pemerintah dalam soal rencana revisi ini sesungguhnya merupakan salah satu ciri hubungan industrial di Indonesia yang sifatnya konfliktual. Ciri konflik ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kebijakan perburuhan yang sejak jaman Orde Baru lebih berpihak pada pengusaha. Konflik industrial yang ditandai oleh aksi mogok dan unjuk rasa oleh serikat buruh memperlihatkan bahwa dialog social dalam hubungan industrial belum menjadi instrument untuk menciptakan keadilan industrial.
ILO mendefinisikan dialog social sebagai berikut ; berbagai jenis negosiasi, konsultasi atau pertukaran informasi di antara perwakilan pemerintah, serikat buruh dan pengusaha berkait dengan kebijakan social ekonomi yang menjadi kepentingan bersama. Dialog social adalah mekanisme untuk meningkatkan kondisi kerja dan kehidupan serta keadilan social. Dialog social merupakan instrument untuk tata pemerintahan yang baik sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan masyarakat yang stabil dan setara
Prasyarat utama berlangsungnya dialog sosial adalah ;
- Adanya serikat buruh dan asosiasi pengusaha yang kuat dan independen sebagai mitra yang memiliki kemampuan teknis dan akses informasi yang setara untuk berunding;
- Penghormatan terhadap hak dasar berserikat dan berunding kolektif dan;
- Kelembagaan tripartite yang kuat.
Di Indonesia secara legal formal semua prasyarat itu sudah terpenuhi melalui UU kebebasan berserikat sebagai wujud penandatanganan konvensi ILO no 87 tentang kebebasan berserikat dan 98 tentang perundingan kolektif, serta dibentuknya lembaga-lembaga tripartite nasional dan daerah. Persoalannya terletak pada pemanfaatan prasyarat tersebut untuk melakukan dialog social. Pertanyaannya, mengapa dengan kelengkapan prasyaratnya dialog social masih amat lemah dan aksi industrial masih menonjol? Pertanyaan kedua, mengapa dengan berbagai inisiatif dan techinal assistance dari ILO maupun berbagai lembaga dan serikat buruh internasional untuk meningkatkan keterampilan dan kualitas dialog sosial untuk serikat buruh dan pengusaha, dialog belum menjadi ciri hubungan industrial?
Dalam laporannya untuk ILO pada tahun 2009, Partick Quinn menuliskan bahwa hambatan terciptanya dialog social di Indonesia karena Indonesia tidak memiliki budaya berunding bersama karena kelemahan organisasi serikat pekerja dan organisasi pengusaha dan sejarah pembinaan dan intervensi yang dilakukan.
Pemerintah terhadap hubungan industrial. Penyebab lain adalah rendahnya saling percaya di antara para aktor hubungan industrial. Hambatan-hambatan teknis lain di tingkat perusahaan dari sisi pengusaha adalah soal keterbukaan pengusaha terhadap serikat mengenai kondisi perusahaan, penolakan berunding hingga berbagai usaha pemberangusan serikat. Sedangkan dari sisi serikat pekerja antara lain persaingan antar serikat dalam perusahaan, minim informasi strategis yangdiperlukandalam perundingan dan rentan terhadap lobby pengusaha kepada individu pengurus serikat.
Di tingkat nasional institusi dialog sosial seperti LKS Tripartit, Dewan Pengupahan dan Dewan Produktivitas tidak dimanfaatkan secara optimal sehingga tidak berkontribusi efektif dalam menciptakan peningkatan mutu hubungan industrial. Pemerintah pusat juga mengabaikan dialog social, bahkan meninggalkan serikat buruh ketika mengeluarkan PP no 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. PP tersebut secara esensial dan arbitrer menghilangkan proses perundingan tripartite dalam penentuan kenaikan upah minimum dan meletakkan pemerintah sebagai penentu tunggal kenaikan upah minimum. Tentu saja peraturan ini menimbulkan reaksi negative dari serikat buruh yang dicabut begitu saja fungsinya dalam perundingan kolektif.
Di tengah semakin ketatnya persaingan global dan misi pemerintah untuk meningkatkan investasi, iklim hubungan industial yang konfliktual dan lemahnya social dialogue tidak menguntungkan siapapun. Semua pihak: serikat buruh, pengusaha dan pemerintah harus saling menghormati peran dan fungsi masing-masing sehingga menumbuhkan saling percaya yang menjadi modal utama melakukan negosiasi, konsultasi dan pertukaran informasi.
Mengandalkan dialog social merupakan langkah yang strategis untuk menciptakan industrial peace. Pada gilirannya kedamaian industrial akan menarik investasi. Dengan dialog social yang tulus dan bermutu, pada akhirnya kepentingan semua pihak terpenuhi: investasi datang, buruh terlindungi dan pengusaha tenang berbisnis. (*)