Pekerja PT Lantana Multi Mineral di Berau Protes Mengenai Hak Lembur

by -492 Views

BERAU (BERITA SPKEP SPSI) — Hubungan industrial antara manajemen PT. Lantana Multi Mineral (PT LMM) di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, dengan pekerjanya saat ini sedang mengalami hambatan. Pasalnya, manajemen PT Lantana Multi Mineral dinilai tidak memenuhi hak kerja lembur yang diminta para pekerja. Sebaliknya, manajemen mengklaim sudah menjalankan peraturan yang berlaku dan mempersilakan para pekerja untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Kabupaten Berau.
PT LMM merupakan salah satu perusahaan di bidang pertambangan di Kabupaten Berau, Kaltim. Berdasarkan informasi yang dihimpun Tim Media PP SPKEP SPSI, konflik hubungan industrial bermula saat manajemen PT LMM dinilai keliru menerapkan Peraturan Menteri (Permen) No. 15 Tahun 2005 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu. Namun, manajemen PT LMM bersikukuh sudah menjalankan aturan tersebut sesuai ketentuan.
Sekretaris Pimpinan Cabang Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Kabupaten Berau (PC SPKEP SPSI) Kabupaten Berau, Munir, menjelaskan bahwa kekeliruan melakukan implementasi Permen tersebut mengakibatkan banyak hak karyawan tidak terpenuhi. Dia menceritakan kronologisnya. Sebelumnya, PT. LMM mempekerjakan para pekerjanya dengan skema borongan yakni tidak dibayar lembur. “Hanya dihitung retasi per ret-nya selama satu hari. Jadi pekerja hanya menerima gaji pokok dan hasil retasi per bulan, tanpa ada tunjangan lain ataupun over time (baca: lembur),” papar Munir. 
Selanjutnya, para pekerja membentuk Pimpinan Unit Kerja (PUK) SPKEP SPSI. Atas usulan para pekerja, pengurus serikat mengajak untuk menerapkan perhitungan overtime/lembur. Namun demikian, PT LMM menerapkan perhitungan lembur tidak mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep-234/Men/2003 dan Kepmen. No. 102/2004. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep-234/Men/2003 mengatur tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu. Sedangkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 mengatur tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. “Justru, manajemen berpatokan kepada Peraturan Menteri No. 15 Tahun 2005 yang seharusnya tidak bisa diterapkan di area pemukiman seperti di Labanan,” jelas Munir.
Dia menegaskan alasan ketidaksetujuan penerapan Permen tersebut, karena Permen ini hanya bisa diterapkan pada daerah operasi tertentu, bukan area pemukiman yang jarak tempuh antara tempat tinggal pekerja dan lokasi kerja 24 jam atau lebih. “Adapun Permen No. 15 Tahun 2005 ini bisa diterapkan untuk pekerja yang tidak memungkinkan jam istirahat biasa/jam kerja biasa seperti supir angkutan jarak jauh atau pengeboran minyak lepas pantai,” katanya, menjelaskan. PT LMM yang beoperasi di area konsesi PT Kaltim Jaya Bara (KJB) ini tetap memaksakan penerapan Permen tersebut, walaupun area tersebut dekat dengan area pemukiman dan tempat tinggal pekerja.

PERJUANGKAN HAK PEKERJA Munir dan jajaran pengurus Pimpinan Cabang Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Kabupaten Berau (PC SPKEP SPSI) Kabupaten Berau,(Istimewa/PC SPKEP SPSI Berau/Munir)
PERJUANGKAN HAK PEKERJA
Munir (baju batik, tiga dari kiri) dan jajaran pengurus Pimpinan Cabang Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Kabupaten Berau (PC SPKEP SPSI) Kabupaten Berau,(Istimewa/PC SPKEP SPSI Berau/Munir)

Upah Lembur Minim
Karena tidak mengacu pada Kepmen. No. 234/2003 dan Kepmen. No. 102/2004 tentang waktu kerja lembur dan upah kerja lembur yakni jam kerja/lembur dihitung rata-rata setiap hari tanpa hari minggu atau hari ketujuh, jelas Munir, para pekerja hanya mendapatkan 5,5 jam upah lembur setiap hari walaupun hari Minggu atau Sabtu. Bahkan karena kesalahan penerapan Permen ini di hari libur resmi nasional seperti Lebaran dan Hari Kemerdekaan, pekerja tetap wajib bekerja namun lemburnya tetap dibayar 5,5 jam. “Hal inilah yang menjadi titik keberatan para pekerja di PT LMM,” tegas Munir.
Ajukan Surat Bipartit
Munir menambahkan, untuk menindaklanjuti ketidakadilan tersebut, pihaknya sudah berulangkali mengajukan surat bipartit untuk membahas kekeliruan penerapan Peraturan Menteri (Permen) No. 15 Tahun 2005 ini, namun PT LMM tetap bersikukuh pada pendiriannya. Serikat pekerja kemudian melakukan penyelidikan. Diduga, ada pihak dari pengawas provinsi yang mengarahkan PT LMM agar menerapkan Permen tersebut dalam kasus di atas.
Munir menekankan, seyogyanya pihak manajemen PT LMM sebagai warga negara yang baik, hendaklah taat pada hukum yang berlaku. Karena Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum.
Aksi Mogok
Seiring persoalan hubungan industrial tidak menemui titik temu, maka para pekerja, ujar Munir melakukan aksi mogok pada tanggal 25 September 2018. Ada dua hal dalam tuntutan aksi mogok tersebut. Pertama, yakni mendesak perusahaan PT LMM menerapkan Permen No. 15 Tahun 2005 sesuai aturan dan menjalankan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep-234/Men/2003 dan Kepmen. No. 102/2004. Tuntutan kedua yakni surat Nota Pemeriksaan Khusus Nomor 560/2551/SETDIS-UM/DTKT/2018 mengenai pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dari Disnakertrans Berau yang tidak dijalankan oleh manajemen.
“Tapi sebelum aksi terjadi, kami diundang oleh Disnakertrans Berau dalam konteks difasilitasi untuk diskusi dengan manajemen PT KJB dan PT LMM. Sayangnya, manajemen kedua perusahaan PT LMM dan PT KJB tetap pada prinsipnya semula,” kata Munir. Karena belum ada kata sepakat, serikat pekerja mewakili pekerja memohon kepada Disnakertrans waktu jeda satu minggu untuk diadakan diskusi lanjutan. Namun hasil diskusi lanjutan ini sama seperti sebelumnya. Masih jauh dari harapan pekerja, yakni tak satupun dari tuntutan-tuntutan mereka dikabulkan pihak manajemen kedua perusahaan tersebut.
Karena menemui jalan buntu, para pekerja kembali menggelar aksi mogok kedua selama tiga hari pada tanggal 9 hingga 11 Oktober 2018.
Akan tetapi, aksi mogok kerja ini tidak membuat PT LMM bergeming. Bahka, kata Munir, PT LMM tidak mau memberikan solusi sekecil apapun dan tetap merasa benar dengan apa yang dilakukan. “Dalam waktu dekat ini, kami berencana mengulang aksi mogok kerja karena PT LMM kami anggap sudah tidak bisa lagi bersinergi dengan pekerja, mereka hanya bermanis lisan mau bekerja sama dan bermitra,” ujarnya.
Dianggap Peraturan Banci
Ada satu hal yang disayangkan Munir dan para pekerja. Yakni pernyataan salah seorang direksi PT LMM berinisial ‘B’. Ketika kedua pihak bertemu di kantor PT KJB pada September 2018 lalu, direksi tersebut mengatakan bahwa Perda tersebut adalah ‘Peraturan Banci’. Ucapan itu didengar Munir saat direksi ‘B’ tersebut ditunjukkan tentang Perda Berau No. 8 Tahun 2018 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Lokal. “PT LMM dengan jelas tidak mau tunduk dan patuh pada peraturan khususnya Perda Berau No 8 Tahun 2018 dan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut saya, pernyataan direksi tersebut tidak bisa dibiarkan, karena ia telah melecehkan konstitusi secara nasional serta pihak-pihak terkait Perda ini seperti Bupati, instansi yang terkait dan anggota DPRD setempat yang menggodok Perda ini,” papar Munir.
Ketika wartawan setempat melakukan klarifikasi kepada direksi tersebut di kantornya, direksi tersebut sedang tugas ke Jakarta. Maka dari itu, Munir mendesak agar manajemen PT LMM memberikan sanksi terkait pernyataan yang dilontarkan direksi berinisial ‘B’ di hadapan perwakilan pekerja.
Bantahan PT LMM
Sementara itu, pihak PT LMM yang dimintai keterangan oleh media setempat di kantor PT LMM menekankan sudah menerapkan Permen No. 15 Tahun 2005. Jika pihak Dinaskertrans setempat menilai perusahaan melakukan kesalahan penerapan regulasi tersebut, mengapa Disnakertrans tidak menegur manajemen PT LMM dan PT KJB. “Kalau kami keliru menerapkan Permen tersebut, maka kami pertanyakan. Mengapa tidak ada surat dari instansi terkait kalau memang PT LMM salah menerapkan Permen no 15. Kalau memang kami salah menerapkan Permen No 15 tersebut, mana surat yang menyatakan hal tersebut?,” kata Spv. HRGA PT LMM, Martha Rahma Edi.
Di tempat lain, salah seorang pengawas dari Disnakertrans Berau, Antonius menyatakan bahwa Disnakertrans telah melayangkan Nota Pemeriksaan Khusus kepada PT LMM. “Adapun pihak perusahaan menjalankan atau tidak, itu bukan kewenangan kami lagi. Jika perusahan tetap tidak menjalankan, maka pihak yang keberatan silahkan mengesahkan nota pemeriksaan khusus tersebut di pengadilan negeri setempat, selanjutnya Disnakertrans bisa menindak lanjuti. Sampai saat ini kami belum menerima pengesahan ini”, jelas Antonius.
Terkait Nota Pemeriksaan Khusus pekerja PKWT menjadi PKWTT, Martha menjelaskan bahwa pihaknya telah menerima nota tersebut. Hanya saja, PT LMM mempersilahkan pihak yang keberatan (karyawan yang disebutkan dalam Nota Pemeriksaan Khusus) untuk menempuh jalur hukum ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk mengesahkan. “Kami sudah terima Nota Pemeriksaan Khusus (dari Disnakerstrans). Kami menunggu pihak yang keberatan silahkan menempuh jalur hukum dengan meminta pengesahan dari PHI,” kata Martha. (Sumber: Radarindonesianews.com dan pernyataan Munir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *